Kamis 03 Jan 2013 20:30 WIB

Asia Tenggara, Teladan Islam yang Damai (1)

Rep: Afriza Hanifa/ Red: Chairul Akhmad
Muslimah di Indonesia (ilustrasi).
Foto: Antara/Septianda Perdana
Muslimah di Indonesia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pedagang adalah motor penggerak penyebaran Islam di kawasan ini.

Tak dapat dimungkiri, di Asia Tenggara masih ada Muslim yang hidup dalam belenggu kesengsaraan dan ketertindasan.

Meski demikian, dibanding kawasan lain di dunia, Asia Tenggara merupakan contoh baik mengenai kehidupan Muslim yang damai.

Tak seperti kawasan lain, Asia Tenggara nyaris tak memiliki konflik ataupun perang saudara. Meski terdiri dari banyak etnik dan suku bangsa, umat Islam di kawasan ini hidup damai dan saling menghormati.

Beragamnya organisasi keislaman pun tak menimbulkan perpecahan yang memicu pertumpahan darah. Bandingkan dengan Timur Tengah yang bisa dibilang tak ada hari tanpa peperangan.

Begitu pun di Asia Selatan yang menjadi rumah bagi hampir setengah populasi Muslim dunia. Di kawasan itu, api sengketa masih berkecamuk. Pakistan misalnya, terus dirundung isu Taliban dan terorisme.

Menurut pakar sejarah Bondan Kanumayoso, Islam di Asia Tenggara yang tak rentan konflik sangat dipengaruhi sejarah awal mula agama ini masuk dan tersebar. Islam masuk ke Asia Tenggara melalui jalur perdamaian, yakni perdagangan.

“Karena melalui jalur damai maka karakter Islam di Asia Tenggara pun sangat kuat diwarnai nuansa damai. Islam itu sendiri, kan memang artinya damai,” katanya.

Tak ada unsur militer, senjata, ataupun penaklukan wilayah, menurut Bondan, merupakan faktor penting proses Islamisasi Asia Tenggara yang sarat perdamaian. Islam diterima melalui interaksi sosial sehingga penyebarannya begitu natural.

Hal tersebut berbeda dengan penyebaran Islam di Eropa yang tak bertahan lama karena melalui Perang Salib.

“Jadi, Islam masuk bukan kekuatan militer, tapi murni pedagang. Sehingga, penyebarannya lebih mendalam karena proses yang panjang. Pengaruhnya pun lebih panjang. Karena, lewat jalur damai bukan penaklukan wilayah,” jelas sejarawan lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement