Senin 17 Dec 2012 17:31 WIB

Kisah Muslim Jepang, Menggapai Islam Via Beasiswa

Rep: Agung Sasongko/ Red: Djibril Muhammad
Nagayo (kiri)
Foto: japantimes.com
Nagayo (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Empat tahun lalu, Masashi Nagao tidak mempercayai agama. Ia beralasan, tidak ada jaminan seseorang yang beragama tidak akan berbuat jahat. "Jujur, peristiwa serangan gas beracun oleh sekte keagamaan Aum Shinrikyo yang menewaskan balasan orang membuatku semakin tidak percaya pada agama," kata dia.

Kebencian Nagano terhadap agama mereda ketika ia mengenyam pendidikan pascasarjana. Ia mulai membaca Alquran dan berbaur dengan komunitas Muslim Jepang. Itu dilakukan saat ia mendalami Antropologi. "Saya kira ini bagian dari hidayah Allah. Saya seolah terdorong untuk menerapkan apa yang dikatakan Alquran," ucap dia seperti dikutip japantimes.com, Senin (17/12).

Tak berlama-lama menyandang status mualaf, Nagano mulai belajar menyebarkan pesan Islam. Itu dimulai musim gugur tahun ini di mana ia ambil bagian dalam program pelatihan yang dikhususkan untuk menyembuhkan penyakit mental di Universitas Tohoku.

Ia juga cukup aktif menjalin komunikasi dengan umat agama lain. "Jujur saya merasa sulit untuk hidup sebagai Muslim di Jepang. Tapi itu tidak mengurangi minat saya untuk memberikan sumbangsih," kata dia.

Kisah Nagano juga dialami Mimasaka Higuchi, 76 tahun. Mantan ketua Asosiasi Muslim Jepang ini memutuskan menjadi Muslim pada 1963. Saat itu, ia mempelajari bahasa Arab guna menjadi bekal berkarir di Timur Tengah.

Beruntung baginya, pemerintah Mesir memberikannya beasiswa.Yang memberatkan Higuchi, syarat dari beasiswa itu adalah ia harus menjadi Muslim. Tak mau ambil risiko kehilangan kesempatan emas, Higuchi memutuskan menjadi Muslim. Dalam taraf itu, ke-Islaman Higuchi hanya sebatas status saja. "Saya belum jadi Muslim yang utuh," kata dia.

Setelah belajar di Universitas Al-Azhar selama tiga tahun, Higuchi mendapatkan pekerjaaan di maskapai penerbangan Jepang, dan menetap di Timur Tengah selama 10 tahun. Saat itulah, ia secara perlahan mulai mendalami Islam. "Saya melihat ada kesamaan antara Muslim dan masyarakat Jepang soal solidaritas yang kuat," kata dia.

Sekembalinya dari Timur Tengah, Higuchi merasa sulit untuk menjalani kewajibannya sebagai Muslim. Tapi ia tak patah semangat. Misalnya saja, ketika waktu shalat tiba ia sempatkan diri melaksanakannya meski posisinya saat itu berada di stasiun kereta.

Contoh lain, ia mulai terbiasa untuk tidak mengonsumsi minuman beralkhol dan makanan non-halal ketika menjamu kliennya. Ia juga secara bertahap melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. "Islam itu agama penuh rahmat, Alhamdulillah," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement