REPUBLIKA.CO.ID, Di antara islah yang diperintahkan Allah SWT adalah dalam masalah rumah tangga.
Dalam hal ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa kalau hakam (juru damai dari pihak suami dan istri) berbeda pendapat, maka putusan mereka tidak dapat dijalankan.
Dan kalau hakam sama-sama memutuskan untuk mendamaikan suami dan istri kembali, maka putusannya harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.
Menurut Imam Malik beserta pengikutnya dan Imam Ahmad bin Hanbal, hakam boleh memisahkan suami dan istri tanpa meminta kuasa dari mereka, karena hakam mempunyai wewenang untuk mendamaikan atau memisahkan suami dan istri tersebut, seperti yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib.
Mereka berpendapat bahwa pemerintah juga berhak untuk menjadi hakam dan putusannya harus dilaksanakan.
Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i dan sahabat-sahabat mereka menyatakan bahwa tindakan untuk memisahkan mereka harus seizin suami, karena pemisahan atau perceraian tersebut adalah sepenuhnya hak suami atau orang yang diberi hak untuk mewakilinya.
Di samping itu. Allah SWT mengembalikan islah ini atas usaha dan keinginan suami, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 228.
Apabila akhirnya terjadi juga perceraian, Allah SWT tidak menutup kemungkinan bagi suami istri untuk bersatu kembali (rujuk).
Apabila perceraian yang terjadi termasuk talak raj’i (talak) dan istri masih dalam masa idah, maka suami boleh kembali kepada istrinya asalkan dengan niat untuk memperbaiki hubungan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 228 di atas.
Adanya keinginan suami untuk menggauli istrinya kembali, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, menunjukkan hasrat suami untuk mengadakan islah dengan istrinya.