REPUBLIKA.CO.ID, Menjadi bagian dari kasta Brahmana dalam sistem sosial masyarakat Bali adalah sesuatu yang istimewa.
Namun, bagi Ida Bagus Mayura, kasta tidak berarti apa-apa. Tidak membuatnya bahagia.
Sebaliknya, Islam bisa memberikan cara pandang yang lain dalam hidup Mayura. Sesuatu yang menjawab rasa penasarannya akan Tuhan dan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang hidup.
Mayura merasakan ketertarikan akan Islam sejak kecil. "Itu karena sekolah saya dekat masjid. Saya perhatikan pola penyembahan Tuhan dalam Islam sangat mudah. Tidak perlu repot-repot menyediakan bunga atau membakar dupa. Di Islam tinggal pakai sajadah, tanpa ada perantara apa pun lagi," katanya.
Dia juga menyukai suara azan. "Saya merinding setiap kali mendengar azan," kata pria kelahiran 4 Desember 1964 tersebut.
Kesederhanaan ibadah dalam Islam juga tampak dari proses penguburan jenazah. "Kalau meninggal cukup pakai kafan lalu langsung dimakamkan. Tidak perlu tunggu hari baik untuk menguburkan jenazah. Kalau hari baik baru ada tiga bulan ke depan, bagaimana ruhnya. Sudah jadi mayat saja masih repot. Namun, Islam berbeda," jelasnya.
Begitu tertariknya dia akan Islam, Mayura bahkan pernah diam-diam mengikuti acara sunatan massal yang diadakan di kampungnya saat itu. "Tapi, ketahuan oleh keluarga, saya diusir," tuturnya.
Mayura kemudian pindah dari satu mushala ke mushala yang lain untuk istirahat setiap malam hari. Namun tak berapa lama, keluarga menemukannya dan mengajaknya pulang. Sesampai di rumah ia dinasihati panjang lebar, ia tetap bergeming.