Jumat 02 Nov 2012 14:48 WIB

Mengenal Taqiyah (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Pada masa Imam keenam, Ja’far as-Shadiq (765 M), gerakan bawah tanah pro-Syiah yang meluas telah memanfaatkan taqiyah untuk menyembunyikan aktivitas revolusioner.

Imam Ja’far sebaliknya mendesak pengikutnya untuk menerima status minoritas mereka secara damai.

Sebagai pengganti, terhadap aksi pemberontakan mereka mempraktikkan bentuk taqiyah permanen yang kemudian menjadi doktrin quietis dalam agama.

Doktrin ini kemudian mereka poles dengan penafsiran ayat ke-13 surah al-Hujurat. Ayat ini, dalam pandangan mereka, adalah anjuran dan seruan ber-taqiyah. Mengingat, antara kedua kata; taqiyah dan takqa, memiliki akar kata yang sama.

Sesudah masa Imam Ja’far, situasi penganiyaan, tampak ataupun tidak, mendorong meningkatnya kebergantungan pada konsep ini. Akhirnya, mengarah pada hilangnya imam terakhir dari 12 imam yang mereka percayai.

Ini dianggap sebagai puncak pelaksanaan taqiyah. Karenanya, salah satu penguasa di abad kesepuluh, Ibn Babawaih (995 M), mengatakan hukum bertaqiyah ini adalah wajib dan bersifat mutlak atau permanen.

Namun, pendapat ini menerima sanggahan dari berbagai kalangan. Syekh al-Mufid (1022 M) melihat kecenderungan berbahaya dalam pernyataan itu. Dengan mengikrarkan konsep kemutlakan taqiyah tersebut maka pada masa depan tak ada ada satu pun pernyataan, bahkan menyangkut taqiyah itu sendiri yang dapat diterima begitu saja.

Para pendukung Syiah, kemudian dan kini, memahami sepenuhnya paradoks ini. Untuk itu, Syekh al-Mufid tergerak menyusun aturan yang lebih tepat bagi penggunaan taqiyah. Kurang lebih intinya, kewajiban taqiyah tidak sama bagi semua orang ataupun dalam semua keadaan. Atas dasar ini pula, taqiyah dinyatakan sebagai kewajiban yang tidak bersifat mutlak.

Doktrin dan praktik taqiyah masih berlangsung dan dilaksanakan secara luas oleh kaum Syiah dan minoritas lainnya. Penggunaan prinsip taqiyah lebih banyak populer dan memang tetap diakui oleh kalangan Syiah secara umum.

Pada masa yang lebih modern—khususnya, setelah Dinasti Shafawiyah (1501-1722 M) yang menjadikan Syiah 12 Imam sebagai agama Iran—perlunya sebuah doktrin taqiyah yang universal lenyap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement