Kamis 01 Nov 2012 16:49 WIB

Perhatian Islam terhadap Utang Piutang (4-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa orang yang hanya memiliki rumah, pakaian, dan perabot rumah tangga (termasuk kendaraan apabila ia membutuhkannya), dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai harta untuk membayar utang. Karena, harta kekayaan itu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Orang yang dianggap sebagai memiliki harta untuk membayar utang adalah orang yang mendapatkan penghasilan yang lebih dari kebutuhan hidupnya yang wajar. Kelebihan penghasilan itulah yang dianggap sebagai harta yang dapat digunakan membayar utang.

2. Orang itu berutang untuk keperluan melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu urusan yang diperbolehkan.

Dalam hal ini, orang yang berutang itu berhak menerima bagian dari zakat. Apabila ia berutang untuk kebutuhan kemaksiatan, seperti minuman keras, perzinaan, dan perjudian, orang yang berutang demikian tidak berhak menerima zakat.

Termasuk dalam pengertian ini, orang yang berutang untuk keperluan yang halal tetapi dilakukan secara berlebihan sehingga terjadi pemborosan yang diharamkan Allah (QS. 7: 31). Orang yang demikian baru berhak menerima zakat apabila ia terbukti telah bertobat dari segala perbuatan maksiatnya itu.

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari, mufasir klasik, meriwayatkan dari Abu Ja'far dan Qatadah, “Garim adalah orang yang mempunyai utang dengan tidak berlebihan. Maka imam berkewajiban membayar (utang itu) dari Baitul Mal.”

3. Hendaknya utangnya itu dibayar pada waktu itu. Apabila pembayarannya itu diberi tenggang waktu, maka terdapat perbedaan pendapat;

a). Pendapat pertama adalah bahwa ia berhak menerima zakat, karena ia termasuk dalam kriteria garim secara umum.

b). Pendapat kedua mengatakan bahwa ia tidak berhak mendapat zakat, karena ia "sekarang” tidak membutuhkan dana untuk membayar utangnya itu.

c). Pendapat ketiga, apabila tenggang waktunya tidak lebih dari satu tahun, maka ia berhak mendapat bagian zakat tahun itu, tetapi apabila lebih dari satu tahun, ia tidak berhak menerima zakat tahun itu.

4. Utangnya bukan dalam bentuk utang kafarat dan utang zakat. Utang zakat bahkan merupakan utang yang pemerintah dapat melakukan pemaksaan kepada pengutang untuk membayarnya. Bagian zakat yang boleh diberikan kepada orang yang berutang ini adalah sebesar utang yang harus dibayarnya.

Apabila ia telah diberi bagian dari zakat, tetapi dana zakat itu tidak digunakan untuk membayar utangnya, atau orang yang memberi utang membebaskan (memutihkan) utangnya, atau ia sendiri membayarnya bukan dari harta zakat yang diterimanya, maka ia harus mengembalikan bagian zakat yang sudah diterimanya itu, karena ia tidak lagi membutuhkannya.

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement