Selasa 09 Oct 2012 16:09 WIB

Keutamaan Shalat Menghadap Kiblat (2-habis)

Rep: Heri Ruslan/ Red: Chairul Akhmad
Ka'bah, kiblat umat Islam di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP
Ka'bah, kiblat umat Islam di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan pusat arah yang dihadapi itu.

Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab.

Menurut Imam Syafi'i, orang yang melakukan sahlat wajib mengarah pada zat Ka'bah. Sedangkan orang yang jauh dari Ka'bah cukup dengan memperkirakan saja. 

Akan tetapi, ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i membolehkan orang shalat hanya menghadap ke arah ka'bah, bukan pada zatnya. 

Riwayat itu diterima dari Al-Muzanni, murid Imam Syafi'i. Dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i itu, pendapat pertama ternyata lebih popuper.

Lalu bagaimana dengan imam-imam yang lain? Imam-imam mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hanbali , mewajibkan orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke arah Ka'bah saja. Alasannya, tak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke zat Ka'bah itu sendiri.

Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang sangat gelap, menurut para Imam, boleh menghadap ke arah yang diyakini. Shalatnya dinyatakan sah, asalkan ia telah melakukan shalat tersebut. Akan tetapi, jika ketika selesai shalat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, maka shalatnya wajib di ulangi, kalau masih ada waktu.

Itulah pendapat Imam Syafi'i, ulama Hanafiah dan ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi, As-San'ani (ahli fikih dan hadis) serta Asy-Syaukani memandang shalat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulang, karena sah.

Bagaimana jika sedang berada di atas kapal? Orang yang melakukan shalat di atas kapal wajib menghadap ke Kiblat ketika memulai shalat dan selama kondisi dan situasi memungkinkan untuk itu. 

Menurut Ketua Umum DDII, Ustaz Syuhada Bahri,  jika tak memungkinkan, maka shalatnya boleh  menghadap kemana saja.

Dalam kondisi seperti ini berlaku firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat  115. ''Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Mahaluas, Mahamengetahui.''

Nabi SAW juga bersabda, ''Antara Timur dan Barat terdapat kiblat.'' (HR at-Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Hurairah). Ayat dan hadis ini juga berlaku bagi orang yang sedang ketakutan.

Lalu bagaimana dengan yang akan shalat pada saat dalam kendaraan sperti mobil, kereta api serta pesawat terbang? Menurut ulama Mazhab Syafi'i, orang tersebut harus menghadap ke kiblat dan wajib berdiri jika memungkinkan. Akan tetapi, mazhab hanafi memperbolehkan orang tersebut shalat sambil duduk dan menghadap ke arah mana saja sesuai dengan gerak kendaraan yang dinaiki.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement