Ahad 07 Oct 2012 10:33 WIB

Kain Ihram tak Boleh Dijahit, Benarkah?

Rep: Hannan Putra/ Red: Dewi Mardiani
Jamaah haji berpakaian ihram. Ilustrasi
Foto: muslimmatters.org
Jamaah haji berpakaian ihram. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Semua ulama mendefenisikan kain yang berjahit adalah kain yang kedua sampingnya dijahit dan pada bagian atasnya terdapat ikat atau tali pinggang, baik berupa jahitan, karet, tali kulit atau lainnya. Kain yang berjahit menurut Bahasa Arab disebut dengan nuqbah, yaitu kain yang sangat menyerupai kain wanita sekarang. Selain itu, kain jahitan disebut juga dengan tannurah (rok wanita),

Nah, bagaimanakah hukumnya memakai kain tannurah ini bagi muhrim (orang yang berihram) laki-laki? Ada beberapa hadis yang berbicara mengenai kain yang dipakai oleh orang yang menjalankan ihram, yaitu;

1. Riwayat dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW dalam beberapa riwayat berada di Madinah, pernah ditanya seorang laki- laki, “Ya rasul, apa yang dipakai orang yang berihram?”

Rasulullah SAW menjawab, “Dia tidak boleh memakai baju panjang burnus (baju luar panjang yang bertutup kepala), sorban, celana, dan sepatu.” (HR Bukhari Muslim).

Dalam hadis ini, laki-laki tersebut menanyakan apa yang dipakai orang yang berihram kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan apa saja yang tidak boleh dipakainya.

Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini merupakan penjelasan yang maksimal dan sangat jelas. Hal itu lantaran Rasulullah SAW ketika memberitahukan bahwa yang dilarang jumlahnya terbatas, sedangkan yang diperbolehkan jumlahnya tak terbatas.

Beliau SAW berpaling dari pertanyaan yang diajukan kepada beliau dan justru memberikan penjelasan larangan yang hitungannya terbatas dengan perkataan beliau, “tidak memakai baju panjang, burnus (baju luar panjang yang bertutup kepala), sorban, celana, pakaian yang diolesi dengan minyak za'faran.”

2. Riwayat dari Abu Ya’la bahwa Nabi SAW berada di Ja’ranah ketika dalam perjalanan pulang dari Thaif. Kemudian beliau didatangi seorang Arab lalu yang bertanya, “Ya Rasul, bagaimana menurutmu tentang seorang laki-laki yang berihram dengan mengenakan jubah (kain panjang) dan memakai wewangian yang dioleskan di tubuhnya?”

Rasulullah SAW bersabda, “Adapun wewangian (yang melekat di tubuh), maka basuhlah tiga kali, sedangkan jubah, maka tanggalkanlah.” (HR.Bukhari Muslim).

3. Terdapat juga riwayat dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah berkhutbah di Arafah mengatakan, “Siapa yang tidak mendapatkan kain maka pakailah celana, dan yang tidak mendapatkan sandal maka pakailah sepatu.”

Jadi, dalam hadis ini Rasulullah memberitahukan dan memberi rukhshah (keringanan) kepada orang yang tidak mempunyai kain boleh memakai sarawil (celana panjang).

Jadi, dikatakan orang yang berihram tidak boleh mengenakan kain yang terjahit, maksudnya bukanlah kain yang dijahit dengan jarum atau mesin, melainkan kain yang dijahit sehingga memperlihatkan bagian-bagian organ tubuh seperti celana panjang, celana dalam, pakaian, dan lainnya.

Jadi yang dimaksudkan dalam hadis tersebut sama sekali bukanlah yang dimaksudkan kain yang dijahit dengan jarum atau mesin. Seperti yang disepakati para ulama, jika seseorang mempunyai kain lalu kain ini berat untuknya lantas dia menjahitnya kemudian memakainya, maka hukumnya ia boleh memakai pakaian tersebut. Demikianlah yang dimaksud dengan kain yang dijahit menurut bahasa ulama fiqih.

sumber : Fiqh Haji Kontemporer, oleh : Dr Abdulloh bin Hamd as-Sakakir
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement