REPUBLIKA.CO.ID, Menyelamatkan nyawa orang lain adalah salah satu bentuk pemeliharaan terhadap ad-daruriyyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok) yang dituntut oleh syariat Islam.
Berkaitan dengan darah hasil bekam, ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa Abu Tayyibah, tukang bekam Nabi SAW, sengaja meminum darah hasil bekam dari Nabi SAW dengan tujuan mendapatkan berkah dari darah tersebut.
Padahal Nabi SAW melarang untuk meminumnya. Menurut Mazhab Hanafi, larangan tersebut disebabkan darah hasil bekam tersebut sudah diletakkan sebelumnya dalam sebuah bejana, sehingga darah itu sudah terpisah dari tubuh.
Darah yang sudah terpisah dari tubuh hukumnya najis dan karena najis, tidak boleh dimanfaatkan.
Namun, cara yang ditempuh ahli medis dengan transfusi darah, menurut AbdusSalam Abdur Rahim As-Sakari, ulama fikih kontemporer dari Mesir, tidak demikian.
Transfusi darah dilakukan melalui alat khusus yang bisa memindahkan darah seseorang kepada orang lain tanpa mengubah sedikit pun zat-zat darah tersebut dan darah itu belum terpengaruh sama sekali oleh udara; karena, meskipun darah itu dipindahkan dahulu ke dalam tabung, tabung tersebut adalah tabung khusus yang telah steril.
Oleh karena itu, darah itu masih tetap sama sebagaimana dengan darah yang terdapat dalam tubuh donor. Dengan demikian, darah dalam tabung itu tidak bersifat najis.
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa di sebagian daerah, khususnya di daerah panas, diperlukan penggantian darah tubuh seseorang untuk menjaga stamina tubuhnya. Dengan demikian, berbekam diperlukan agar darah menjadi baru kembali.
Upaya memperbarui darah tersebut, menurut Abdus Salam Abdur Rahim As-Sakari, di zaman modern dilakukan dengan menyumbangkan (diambil) darahnya dan darah yang diambil tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkannya.