Senin 17 Sep 2012 22:25 WIB

Panduan Islam dalam Berburu (4)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Berburu (ilustrasi).
Foto: travel.mongabay.com
Berburu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Imam Al-Kasani (wafat 587 H/1191 M, tokoh Mazhab Hanafi), Ibnu Rusyd (tokoh Mazhab Maliki), Qutubuddin Asy-Syirazi (wafat 710 H/1311 M; tokoh Mazhab Syafi'i), dan Ibnu Oudamah (tokoh Mazhab Hanbali) berpendapat bahwa binatang buas yang digunakan untuk menangkap binatang buruan antara lain anjing, singa, harimau, kucing, dan burung elang.

Mereka mengemukakan pendapat Ibnu Abbas mengenai pengertian berburu dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 4 sebagai alasannya.

Menurut Ibnu Abbas, kata mukallibina (binatang buruan yang terdidik) itu mencakup pengertian beberapa binatang buas seperti anjing, harimau, singa, kucing, dan burung elang.

Akan tetapi, binatang yang biasa digunakan adalah anjing. Binatang-binatang pemburu itu harus sudah terlatih, yaitu meninggalkan watak asalnya, sehingga dapat berfungsi sebagai alat dan tidak menangkap binatang buruan itu untuk dirinya sendiri.

Menurut ulama Mazhab Hanafi, terlatih berarti bahwa binatang itu mau mematuhi perintah tuannya. Sedangkan ulama Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali mengemukakan tiga macam tanda terlatihnya binatang pemburu, yaitu:

  1. Jika dilepas oleh tuannya, hewan itu langsung mengejar sasaran yang diperintahkan.
  2. Jika dilarang, dia berhenti, dan
  3. Jika menangkap binatang buruannya, dia tidak mau memakannya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, dan Muslim dari Adi Ibnu Abu Hatim menegaskan larangan Rasulullah SAW memakan daging sisa binatang buruan yang dimakan oleh binatang pemburunya.

Tanda-tanda ini harus dapat dibuktikan berulang kali, sehingga binatang itu benar-benar dipandang sebagai binatang terlatih. Sedangkan ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa daging sisa itu boleh dimakan berdasarkan pengertian umum dari Surah Al-Ma'idah (5) ayat 4.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement