Ahad 09 Sep 2012 06:00 WIB

NU Dorong Pemerintah Dukung Tontonan Alternatif

Rep: Syahruddin El-fikri/ Red: Heri Ruslan
Anak sedang menonton televisi (ilustrasi)
Foto: antara
Anak sedang menonton televisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Perkembangan jaringan komunikasi digital menjadikan persaingan di dunia penyiaran semakin ketat. Untuk tersedianya tontonan alternatif sebagaimana disajikan lembaga penyiaran dengan modal kecil, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai civil society mendorong Pemerintah untuk memberikan dukungan nyata.

Ini terlontar dalam seminar Pra Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Aula PWNU Jawa Timur, Sabtu (8/9), yang mengambil tema "Mengawal Entitas Kebudayaan Indonesia di Tengah Liberalisasi dan Keterbukaan Informasi-Komunikasi".

Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya, Ph.D (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia), Prof Dr Solichin Abdul Wahab (Guru Besar Ilmu Sosial Universitas Brawijaya), Prof Dr Abdul A'la (Guru Besar dan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya), H As'ad Sa'id Ali (Wakil Ketua Umum PBNU), dan Dr Ishadi SK (Direktur Trans Corp).

"Perkembangan jaringan komunikasi digital ini mestinya bisa menjadi solusi. Jaringan baru ini lebih efektif daripada analog, baik dari kualitas suara maupun gambar, karena tidak tergantung pemancar dan menara," ungkap Ishadi.

Meski demikian, jaringan komunikasi digital tidak bisa dijalankan dengan biaya murah, sehingga hanya lembaga penyiaran tertentu yang bisa melaksanakannya. Di saat yang sama lembaga penyiaran seperti TV 9 milik NU Jawa Timur, yang bisa menyajikan tontonan alternatif untuk masyarakat, sangat membutuhkan perhatian.

"Mestinya Pemerintah bisa mengambil sikap, jaringan televisi alternatif harus mendapatkan perhatian. Ini harus dibantu, karena kalau tidak mereka tidak akan bisa bersaing dengan lembaga yang dikelola pemodal besar," tandas Ishadi.

Sasa Djuarsa Sendjaya mengungkapkan, perkembangan jaringan komunikasi digital ini harus bisa dimanfaatkan dengan maksimal dan baik. Terlebih mengenai proporsi siaran tak terbatas, yang apabila tidak dijalankan dengan baik, dikhawatirkan justru mengakibatkan pelemahan di masyarakat.

"Tidak ada aturan mengenai porsi siaran pendidikan. Ini terutama terjadi setelah era reformasi. Semua berubah. Negara telah digantikan pasar, dan penguasa telah digantikan pengusaha," tegas Sasa.

Abdul A'la lebih menyoroti tontonan alternatif yang harus lebih disodorkan ke mastarakat, untuk tujuan kemajuan. "Lembaga pendidikan dan Organisasi Kemasyarakatan seperti NU harus bisa berada di garda depan dalam mengarahkan warga, terutama generasi mudanya dalam memilih tontonan-tontonan yang berkualitas. Tentunya dengan tidak mengecilkan peran Pemerintah," ujarnya.

Sementara penanggungjawab seminar Pra Munas Alim Ulama dan Konbes NU Andi Najmi Fuaidy, mengatakan apa yang dihasilkan dalam kegiatan ini akan dijadikan masukan, untuk selanjutnya dibahas dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU mendatang di Cirebon. "Munas dan Konbes mengambil tema Kembali ke Khittah Indonesia 1945. Apa yang dibahas dalam seminar kali ini adalah penggalian bahasan dari perspektif kebudayaan," pungkas Andi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement