REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING--Pengajar Universitas Xianjiang, Liang Zheng mengatakan masalah berlarut-larut yang terjadi di kawasan otonomi Xianjiang, daerah dengan populasi mayoritas etnis Uighur yang beragama Islam, merupakan akibat dari gagalnya pakem modernitas yang diusung Beijing.
Sebab, modernitas yang diusung Beijing justru melupakan identitas Islam yang menjadi akar budaya Muslim Uighur. "Islam adalah kunci dari pembangunan sosial dan ekonomi di Xianjiang," papar dia seperti dikutip Eurasianet.org, Jumat (24/8).
Zheng mengatakan secara tradisional modernisasi dianggap sama dengan westernisasi. Namun, dalam 30 tahun terakhir, negara-negara berkembang di Asia telah berhasil menerjemahkan modernisasi dalam bentuk yang unik. Cina merupakan contohnya.
Namun, kata dia, modernisasi Cina tidak memiliki dimensi spirtiual yang kuat lantaran fondasi utama yang dibangun oleh Partai Komunis Cina (PKC) adalah sosialisme dengan karakteristik Cina. Artinya, hegemoni kebudayaan etnis Han begitu kental dalam kebijakan itu. Sebabnya, ketika dipaksakan masuk ke Xianjiang, ada penolakan keras.
"Saya pikir modernisasi Turki yang non Arab merupakan contoh yang baik untuk Xianjiang. Islam di Turki telah terintergasi ke dalam kehidupan ekonomi dan sosial," kata dia.
Untuk itu, kata Zheng, satu bentuk modernitas yang dilakukan adalah tetap mempertahankan pendidikan agama. Keluarga Muslim di Xianjiang tetap mengajarkan anak-anaknya pendidikan agama guna mempertahankan budaya dan warisan mereka.
"Modernisasi tidak bisa dihindari. Budaya modern yang menyatukan modernitas dengan Islam tidak akan hanya menguntungkan Xinjiang, tetapi juga memjadi contoh sinergi antara budaya Islam dan Konfusius, yang pada gilirannya akan meningkatkan kekuatan China," kata dia.
Menurut Zheng, momentum itu dapat dimulai ketika Beijing telah menunjuk Chun Xian, sebagai perwakilan Beijing di Xianjiang. Pertanyaannya, apakah ia mampu melihat dengan jeli solusi tersebut. "Kita tunggu saja perkembangannya," kata dia