Senin 30 Jul 2012 06:36 WIB

Halalan Thayyiban: Tips Memilih Restoran Halal

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: buzberry.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu acara menyenangkan selama Ramadhan ialah berbuka atau sahur bersama di luar.

Biasanya ini dilakukan oleh keluarga saat liburan, atau kolega bisnis dan kerja. Lokasi yang dipilih ialah restoran-restoran mewah dan ternama. Kadang pula, restoran-restoran dengan level menengah ke bawah.

Namun sayang, kata pakar halal Prof Anton Apriyantono seperti yang dikutip dari akun facebook Komunitas Halal-Enak- Baik, mayoritas Muslim sebagai konsumen terbesar berbagai restoran itu, kurang menyadari fakta bahwa tidak semua restoran menyajikan produk halal.

Ini tentunya akan memberikan rasa ketidaknyamanan untuk bertandang ke restoran tertentu. Menurut Menteri Pertanian di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu, keberadaan makanan tak halal di sejumlah restoran disinyalir karena lemahnya regulasi.

Belum ada peraturan yang secara tegas mewajibkan para pengelola untuk menyediakan produk halal. “Akibatnya, oknum pengelola restoran dengan tidak fair mencantumkan label halal,” kata Anton. “Sementara, tempat usaha mereka itu belum mengantongi sertifikat halal MUI.”

Kasus ini pernah terjadi. Ketika itu, sebuah restoran Jepang memajang logo halal. Padahal, mereka masih memakai sake dan mirin. Untuk itu, pakar pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu pun memberikan beberapa tips dan saran.

Hal pertama yang ia sarankan ialah agar para konsumen waspada dan teliti. Bila restoran tidak besertifikat halal, ini berarti tidak ada jaminan kehalalan dari lembaga yang berwenang. Apa saja restoran itu? Jumlahnya masih sedikit. Ini bisa diakses di www. halalmui.org.

Kedua, pastikan kepada pihak pengelola terkait keberadaan sertikat halal di restorannya tersebut. Ini bisa dilakukan dengan menanyakan langsung secara sopan dan beretika. Ini karena label halal biasa yang dipajang, belum tentu jaminan. Kalau ternyata masih ragu, maka lebih baik mencari alternatif restoran pengganti.

Ketiga, tidak memilih restoran dengan menu dengan bahan yang kehalalannya secara umum masih diragukan. Atau jelas haram seperti produk babi dan minuman keras. Jangan pula makan di restoran yang menyajikan masakan halal bercampur dengan masakan haram seperti produk babi atau minuman keras.

Misalnya, masakan Cina yang menggunakan lemak babi atau arak. Baik arak putih ataupun merah (angciu). Kie kian yang sering jadi bahan cap cai juga perlu diwaspadai. Ini karena bahan itu melibatkan lemak babi.

Pada masakan Jepang, waspadai sake dan mirin. Menu Barat, ada keju dengan status kehalalan yang diragukan, unsur wine dalam makanan Prancis, buillon (ekstrak daging), dan lainnya.

Beberapa saran ini berlaku selama ada keraguan dan belum diketahui status kehalalan restoran yang dituju. Bila sudah maklum dan telah besertifikat halal maka tak jadi soal untuk mengonsumsi makanan dan minuman di rumah makan tersebut. “Kecuali bila sudah besertifikat halal MUI,” kata Anton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement