Kamis 26 Jul 2012 21:12 WIB

Sejarah Kewarisan dalam Islam (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Harta warisan (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Harta warisan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Sementara itu, jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia itu tidak mempunyai kerabat yang ikut hijrah, sahabat dari golongan Anshar-lah yang mewarisinya.

Inilah makna yang terkandung dalam perbuatan Nabi SAW mempersaudarakan sahabat Anshar dengan sahabat Muhajirin.

Pada masa itu, juga diperlakukan pewarisan harta orang yang memerdekakan budak (mu'tiq) terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq) dengan sistem yang disebut dengan wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan terhadap mantan budak yang pernah dimerdekakannya). Dengan catatan, sistem wala' ini tidak berlaku timbal balik.

Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara pasangan suami-istri (zaujiyah). Oleh karena itu, yang berlaku dalam kewarisan Islam pada masa permulaan adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (nasab, qarabah, rahm), sebagaimana disebutkan dalam Alquran, SuraH Al-Anfal [8]: 75.

Dengan sistem tersebut di atas, dihapuslah hak mewarisi yang didasarkan pada sumpah setia, kecuali bagi pihak-pihak yang tetap memperlakukannya. Adapun mengenai warisan atas alasan pengangkatan anak memang sejak awal telah dihapuskan Islam.

Hal ini tertuang dalam perintah Allah SWT yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW mengenai penghapusan akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya (Alquran Surah Al-Ahzab [33]: 5, 37, dan 40).

Pascahijrah

Pada masa sebelum turun ayat waris, istri Saad bin Ar-Rabi bersama dua orang anak perempuannya pernah datang kepada Nabi SAW, sambil bertanya, ''Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Saad bin Ar-Rabi yang mati syahid pada Perang Uhud bersamamu. Paman mereka merampas semua harta mereka tanpa memberi bagian sedikit pun kepada anak-anak perempuan itu. Adapun untuk kawin, kedua anak itu perlu uang.''

Lalu, Rasulullah SAW bersabda, ''Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian mengenai masalah itu.''  Kemudian turun ayat waris, yaitu Surah An-Nisa [4]: 11.

Sesudah itu, turun pula ayat-ayat kewarisan lebih lanjut secara terperinci mengenai pembagian kepada para ahli waris dalam segala kondisinya, seperti kedua orang tua, suami, istri, saudara-saudara sekandung, dan saudara-saudara seayah (QS. An-Nisa [4]: 12 dan 176).

Dengan turunnya ayat waris, dapat dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tak hanya terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, tapi juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement