REPUBLIKA.CO.ID, Sembari membungkuk, kedua tangan Katherin menyentuh kedua lututnya. Ia berusaha keras meyakinkan dirinya.
"Ya, Allah tolong bantu aku agar menjadi Muslimah yang baik. Seorang Muslimah. Tapi Katty, bagaimana mungkin kamu, seorang wanita kulit putih berpendidikan memilih agama yang menjadikan anda seorang perempuan warga negara kelas dua!" gumam dia dalam hati.
Pergulatan dalam diri Katherine belumlah usai. Ia sempat mengutarakan niatnya memeluk Islam kepada kerabat dan teman dekatnya di Kingston. Niatnya itu segera ditentang keras. Kembali pergulatan terjadi. "Inilah perjalanan awal saya," kata dia.
Setiap hari, Katherine selalu termenung. Ia lihat langit penuh bintang. Ia bayangkan semesta alam berputar dalam pikirannya. Ia merasa terhubung dengan sesuatu yang Maha Besar. Tapi ia bertanya-tanya, apakah itu hanyalah halusinasi. Kemampuan berpikirnya meragukan hal itu.
Dalam pikirannya, ia bertanya mengapa manusia tidak bisa melihat Tuhan. Pertanyaan lain, bagaimana bisa Tuhan mendengarkan milyaran orang berdoa, dan memberikan kehidupan kepada milyaran orang itu dalam hitungan detik. Seolah buntu, ia kembali mencoba untuk shalat. Ia lihat warna hijau sajadah barunya disela jemarinya. "Aku tidak menemukan kunci untuk memahami hal ini," kata dia.
Ketika masih duduk dibangku kuliah, Katherine memiliki bayangan lengkap tentang dunia ini. Memasuki tahun ketiga dan keempat. Bayangan itu runtuh sudah. Ia masih ingat, ketika masih menjadi jamaah gereja. Ia melihat orang yang rajin ke gereja itu cenderung kuno dan membosankan. Meninggalkan gereja, tak jua membuatnya bahagia.
Ia merasa membutuhkan Tuhan tapi tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya. Setiap ia bertanya kepada gereja, jawaban yang ia dengar adalah dirinya adalah seorang yang berdosa karena mengabaikan Yesus. Lalu ia bertanya, lantas bagaimana dengan orang yang tidak mengenal Yesus apakah ia juga berdosa.
"Inilah yang aku alami. Aku kembali ke masa lalu, mencoba memperbaiki apa yang salah," kata dia.