Selasa 17 Jul 2012 11:10 WIB

Muslim Kirgistan, Di Tengah Himpitan Konflik dan Sekularisme (3)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Warga Kirgistan di kamp pengungsian Kota Osh, saat kerusuhan melanda negeri mereka pada April 2010 lalu.
Foto: AFP
Warga Kirgistan di kamp pengungsian Kota Osh, saat kerusuhan melanda negeri mereka pada April 2010 lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Selain konflik antara Muslim dan pemerintah, negara ini juga kerap dilanda konflik antaretnis.

Seperti yang terjadi pertengahan 2010 lalu, perang antaretnis kembali pecah di wilayah Osh, kota terbesar kedua di bagian selatan Kirgistan.

Dalam insiden berdarah tersebut dilaporkan sekitar 102 orang dinyatakan tewas dan puluhan ribu warga terpaksa harus mengungsi. Seperti dikutip dari kantor berita Agence France Presse (AFP), terdapat 80 ribu orang etnis Uzbek mengungsi. Kebanyakan dari pengungsi adalah perempuan dan anak-anak.

Dalam insiden tersebut, Kota Osh berubah menjadi zona merah (daerah perang). Warga melakukan pembakaran dan perampokan. Konflik ini juga menyebabkan lebih dari 1.200 orang luka-luka.

Konflik antaretnis ini memanas setelah Presiden Kirgistan, Kurmanbek Bakiyev, digulingkan April 2010 lalu. Padahal, mayoritas warga Kirgistan mendukung Bakiyev.

Jika melihat sejarah Kota Osh, maka akan ditemukan bahwa pada 1990 mereka telah masuk dalam sebuah konflik antara etnis Kirgiz dan Uzbek. Dan kota itu merupakan basis pendukung oposisi Kirgistan sekarang dan pendukung pemerintah sebelumnya.

Pengaruh Rusia mulai menyusup ke dalam Kirgistan sejak 1918 hingga semua wilayahnya jatuh di bawah Pemerintahan Uni Soviet pada 1936. Pemerintah Uni Soviet turut menciptakan perubahan dalam budaya dan ekonomi Kirgistan. Ketika itu, rezim komunis telah mengubah tulisan Kirgistan yang terdiri dari huruf Arab menjadi huruf Rusia pada 1941.

Pada Agustus 1990 terjadi bentrokan pertama antara etnis Kirgiz dan Uzbeks di Kota Osh. Dan hal itu terus berlangsung selama dua bulan sampai terpilihnya Askar Akayev yang pro-Rusia pada Oktober di tahun yang sama.

Akayev berkuasa hingga 2005, dan kemudian kabur ke Rusia setelah oposisi merontokkan kekuatan pemerintahannya. Akibatnya, konflik antara pendukung dan oposisi terus berlangsung dan menyebar di Ibukota Bishek.

Setelah itu, Kurmanbek Bakiyev yang pro-Amerika Serikat (AS) terpilih sebagai presiden Kirgistan sampai April 2010, sebelum digulingkan oleh oposisi yang memaksanya untuk melarikan diri dari ibukota ke Kota Osh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement