Selasa 10 Jul 2012 20:25 WIB

Muslim Lebanon, Antara Konflik dan Tuntutan Sekularisme (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Tentara Lebanon.
Foto: AFP
Tentara Lebanon.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum perang saudara yang berlangsung selama kurun 1975-1990, negara ini menikmati ketenangan dan kemakmuran yang relatif baik.

Bahkan, sektor pariwisata, pertanian, dan perbankan, mengalami masa-masa kejayaan. Karena kekuatan finansialnya, Lebanon dianggap sebagai ibukota perbankan di dunia Arab dan sebagai Swiss di Timur Tengah.

Usai perang saudara berakhir, pemerintah dan rakyat Lebanon melakukan banyak upaya untuk menghidupkan kembali ekonominya dan membangun ulang infrastruktur nasionalnya.

Namun, pada 2006 negara ini kembali porak poranda oleh serangan-serangan Israel. Selain menimbulkan banyak korban dari pihak sipil maupun militer, perang tersebut juga menyebabkan kerusakan hebat pada infrastruktur sipil dan menimbulkan pengungsian besar-besaran selama periode Juli 2006 hingga gencatan senjata diberlakukan pada Agustus 2006.

Konflik berkepanjangan

Kendati secara geografis, Lebanon dan Israel bertetangga, namun hubungan kedua negara ini tidak pernah harmonis. Lebanon bisa dikatakan sebagai salah satu pengkritik utama kebijakan negara Zionis tersebut terkait persoalan Palestina.

Konflik di antara kedua negara ini mulai berlangsung pada 1982. Saat itu, tentara Israel melakukan invasi berskala penuh yang melibatkan persenjataan berat, pesawat tempur, dan kapal-kapal ke wilayah Lebanon. Israel berdalih bahwa sasaran mereka adalah mendorong para gerilyawan Palestina mundur dari perbatasan untuk mencegah serangan-serangan di dalam wilayah Israel.

Dalam kenyataannya, pasukan Israel memasuki Beirut dan untuk pertama kalinya mengepung sebuah ibukota negara Arab. Dari situ kemudian mulai jelas, tujuan Israel sesungguhnya, yakni ingin menguasai wilayah tersebut dengan cara mengintimidasi Lebanon agar mau menandatangani perjanjian perdamaian.

Pertempuran antara kekuatan militer kedua negara ini pun tidak bisa terelakkan lagi. Pada kurun waktu 6 Juni sampai 26 September 1982, terjadi pertempuran yang pada akhirnya memaksa pasukan Israel mundur dari Beirut Barat.

Bahkan hingga sekarang, permusuhan di antara keduanya masih berlangsung. Hal ini terlihat jelas dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Perdana Menteri Lebanon, Saad Hariri. Hariri mengatakan bahwa dia sangat menaruh perhatian terhadap eskalasi ancaman keamanan di Timur Tengah oleh Israel.

Menurutnya, pesawat tempur Israel tiap hari memasuki wilayah udara Lebanon. Israel, kata dia, telah melakukan kesalahan dengan melanggar wilayah dua negara yaitu Lebanon dan tetangganya Suriah. Pernyataan tersebut dikeluarkan beberapa hari seusai saling tuding antara Israel dan Suriah.

Hariri juga menyatakan, Lebanon telah bersatu padu. Pemerintahnya bersama dengan Hizbullah akan melawan ancaman Israel. Hizbullah merupakan kekuatan sayap militer di Lebanon yang pernah bertempur dan berhasil mengusir Israel dari Lebanon pada 2006.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement