Senin 25 Jun 2012 06:46 WIB

Halalan Thayyiban: Tak Selamanya Obat itu Halal (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Obat-obatan (ilustrasi).
Foto: http://unitednews.com.pk
Obat-obatan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Berobat adalah ikhtiar yang semestinya diupayakan oleh pasien ataupun keluarga yang bersangkutan. Dan, mayoritas ulama sepakat hukumnya ialah dianjurkan, bahkan ada pula yang mewajibkannya dalam kondisi tertentu.

Sebuah hadis riwayat Muslim dari Abu Darda’ menyebutkan, bahwa tiap penyakit ada obatnya. Dan bila obat tersebut bisa mengalahkan penyakit yang tengah diderita maka (sungguh) hal itu (terjadi) atas izin Allah.

Tetapi, usaha itu tidaklah mudah. Tak semua jenis obat ternyata layak dikonsumsi. Ada beberapa bahkan, memiliki titik kritis kehalalan. Hal ini tak lain karena obat yang terdiri atas bahan aktif dan bahan farmaseutik itu dibuat lewat proses mutakhir.

Bisa jadi, konsumen pun akan luput mengetahui apa saja bahan yang dipergunakan tersebut. Benar, kaidah fikih mengatakan bahwa ad dharuratu tubihu al mahdzurat, (kondisi darurat membolehkan larangan dilanggar), tetapi mengupayakan obat yang aman sekaligus halal, juga dicatat sebagai ikhtiar.

Lantas, apa saja titik kritis kehalalan obat? Mengutip laman resmi Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOMMUI), poin yang perlu dicermati dari obat salah satunya ialah bahan dasar dari bahan aktif yang dipakai dalam pembuatan obat itu.

Bahan dasar tersebut bisa berasal dari hewan seperti protein, asam amino, vitamin, mineral, enzim, asam lemak dan turunannya, khondroitin, darah, serum, plasma, hormon, hingga karbon aktif.

Bila berasal dari hewan halal, maka tentunya cara memperolehnya pun harus halal. Misal, dari segi penyembelihannya mesti sesuai dengan tata cara sembelihan Islam. Masalahnya, ada pula bahan yang diambil dari hewan haram seperti babi. Baik yang disarikan dari tulang, kulit, atau lemaknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement