Sabtu 16 Jun 2012 11:54 WIB

Yosephine Cristanti: Islam Mengajariku Berlaku Pamrih kepada Allah (Bag 1)

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Heri Ruslan
Alquranul Karim (ilustrasi).
Foto: explow.com
Alquranul Karim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Mulanya ia masuk Islam karena dihadapkan pada pilihan gambling. Kini, Yosephine Cristanti terus belajar menjadi Muslimah yang kaffah.

“Aku tidak mau main-main. Aku telah memilihnya, dan aku harus mempertanggungjawabkan pilihanku.”

                                                                          ***

Ditemui di sela waktu senggangnya bersama suami dan kedua putrinya di kawasan Depok beberapa waktu lalu, Yosephine terlihat anggun dengan terusan biru dipadu jilbab berwarna senada. Senyum pada wajah ramahnya seolah mewakili kebijaksanaan yang berhasil dipelajarinya dari sebuah perjalanan berharga menuju Islam. Dan ia terlihat bersemangat untuk membaginya pada Republika.

Benar saja. Hanya dengan sebuah pertanyaan singkat, cerita tentang rute panjang perjalanan spiritualnya segera mengalir dari mulut Yosephine. “Semua terasa seperti taruhan pada mulanya,” ujarnya mengawali cerita.

Perempuan yang lahir di Semarang pada 20 Mei 1976 ini dibesarkan di lingkungan Katolik. Ia juga belajar di sekolah-sekolah Katolik, sebelum akhirnya menjadi mahasiswa Biologi Kelautan di Universitas Diponegoro. Meski setelah lulus sempat menjadi tenaga honorer di sebuah dinas pemerintahan atas dorongan orang tuanya, perempuan berpendirian keras ini memutuskan mengejar mimpinya dengan caranya sendiri.

Ia keluar dari pekerjaannya, melepaskan mimpi kedua orang tuanya yang berharap dirinya menjadi pegawai negeri. Bungsu dari tiga bersaudara ini lalu menemukan iklan sebuah peluang kerja di sebuah surat kabar yang mendorongnya meninggalkan Semarang, menuju Ibukota. “Aku bahkan tak berpamitan pada orang tuaku karena khawatir tidak mendapat izin,” katanya.

Singkat kata, di Jakarta, Yosephine berkenalan dengan seorang pria Muslim yang kini menjadi suaminya. Perbedaan agam tidak memunculkan persoalan berarti hingga sang pria memperkenalkan Yosephine pada orang tuanya. Untuk menjadi menantu mereka, . “Aku harus masuk Islam maksimal setahun sebelum menikah.”

Tak pelak, Yosephine merasa berada di sebuah persimpangan. Ia diminta meninggalkan jalan yang telah dilaluinya selama puluhan tahun dan memilih jalan baru yang tak dipahaminya. “Rasanya seperti bertaruh, karena aku merasa keduanya tanpa jaminan,” katanya.

Memilih Islam, baginya, tentu tidak masalah jika nantinya itu sesuai dengan hatinya. Ditambah, pernikahannya pun belum menjadi rencana yang pasti kala itu. “Kalau aku masuk Islam lalu aku batal menikah, aku tidak mungkin kembali ke agama lamaku. Pilihanku adalah tanggung jawabku. Namun jika ternyata agama itu salah dan hatiku menolaknya, bagaimana aku akan mempertanggungjawabkannya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menggiring Yosephine pada pencarian-pencarian kecil. Bertanya pada beberapa orang Muslim yang dikenalnya, ia justru kecewa. “Jawaban mereka rata-rata memojokkan Kristen, agama yang masih kupeluk waktu itu.” Keraguannya bertambah setiap melihat perilaku Muslim yang dinilainya tidak mencerminkan nilai-nilai terpuji.

Tanpa berbekal kemantapan hati yang cukup, Yosephine mencoba melihat agama sebagai cara manusia berhubungan dengan Tuhannya. “Aku menyiapkan diri dengan pertaruhan yang ada dan berkata pada diriku, ‘Oke, dengan berislam, aku hanya berganti cara. Aku tetap berdoa dan meminta pada Tuhan, dengan cara yang lain, lewat agama lain’.”

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement