REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum Wr Wb
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Seseorang sebut saja mas Nganu, menulis di status facebooknya “Hak cipta dan konsep milik Allah SWT, otak dan tangan kita hanya dipakai Allah untuk menyampaikan kebaikan, itu kalo tujuannya murni dakwah”.
Jika kita hanya melihat pernyataan ini mungkin kita akan setuju-setuju saja. Tetapi kemudian jika mas Nganu dengan pemahaman di atas kemudian melakukan sesuatu yang ilustrasinya seperti ini: suatu hari mas Nganu melihat ada mangga ranum menggantung di pohon halaman tetangga, kemudian dengan pemahaman hak cipta dan konsep milik Allah, maka mas Nganu tanpa seizin yang punya rumah masuk dan mengambil mangga tersebut dengan tujuan untuk menanam pohon yang sama dengan tujuan dakwah.
Nah jika seperti ini kejadiannya, setujukah Anda dengan pola pikir dan tingkah laku mas Nganu?
Jika kita singgung sedikit lewat HAKI atau hak kekayaan intelektual atau hak cipta menurut peraturan undang-undang adalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 ayat 1). Itu menurut peraturan undang-undang. Kemudian mari kita bahas dari sudut pandang yang lain.
Allah Sang Khalik yang Maha Menciptakan: menciptakan bumi, langit dan apa yang ada diantaranya beserta segala isinya. Sebagaimana ayat:“Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main.” (QS. Al Anbiya, 21 : 16). Otomatis dengan pemahaman tadi seluruh objek yang ada di bumi dan langit beserta segala isinya secara kepemilikan hanyalah milik Allah.
Dalam konteks pohon mangga, mari kita Iqro atau kita himpun informasinya atas nama Rabb yang menciptakan sesuai dengan ayat: “Iqra’ bismirabbikal-ladzii khalaq”. Seandainya ada pohon mangga di kebun kita. Allah menciptakan biji, menumbuhkannya menjadi pohon yang menghasilkan buah, dengan bermacam-macam rasa, warna, ukuran dan bentuknya. Kemudian tidaklah biji itu akan tumbuh bila tidak ada tanah, dan air yang bersumber dari hujan.
Dan tidaklah akan ada hujan bila Allah tidak menciptakan angin yang mengalir diudara karena adanya gunung sebagai dataran tinggi dan lembah serta hamparan dataran rendah, angin itulah yang membawa awan yang kemudian menjadi bergumpal-gumpal.
Dan tidaklah akan ada awan jika Allah tidak menciptakan matahari yang menguapkan air dan akhirnya menurunkan hujan, dan tidaklah hujan akan terjadi jika Allah terus menjadikan matahari bersinar, karena itu matahari terbit & terbenam.
Dan tidaklah matahari akan terbit & terbenam jika langit tidak mempunyai mekanisme berputar (tawaf semesta) dengan manzilahnya. Dan seterusnya-seterusnya, kita singkat saja karena masih banyak yang perlu diuraikan secara detail dalam prosesnya. Dengan mekanisme yang Allah telah tetapkan, bahkan untuk sebuah mangga salahsatunya saja, perlulah ada bumi dan langit serta apa yang ada diantaranya beserta seluruh ketetapan prosesnya. Subhanallah
Mari kita renungkan, dengan mekanisme dan proses yang kompleks tersebut masih tetapkah kita pada pendirian bahwa pohon buah mangga itu milik kita? Kemudian beranikah kita menetapkan harga dan menjual buah itu?
Tentulah tidak berani sebelum Allah menguasakannya kepada kita sebagaimana dalam surat Al Jatsiyah (QS. 45 : 13) : “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripadaNYA…”.
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.” (QS. Faathir, 35 : 39)
Dan dengan pemahaman ayat di atas manusia dikuasakan atau dijadikan sebagai khalifah di muka bumi ini yang lebih berarti sebagai perawat yang mengemban amanah. Maka, kembali ke urusan pohon buah mangga (baik dikarenakan sudah ada dari sebelumnya atau kita sengaja menanamkan bijinya) kemudian merawatnya hingga pohon itu berbuah, atau bahkan upayanya hanya sebatas memetiknyapun boleh jadi Allah telah ridho dan hanya atas seizinNYA lah (dengan pemahaman iqro di atas) pohon itu berbuah, manis rasanya.
Dengan pemahaman uraian di atas, jika ada seseorang selain kita yang menginginkan buah mangga tersebut tanpa melewati proses perawatan (tanpa upaya terhadap contoh buah mangga tersebut), maka seseorang tersebut perlulah mengeluarkan upaya dalam bentuk lain yang kita pahami dengan membelinya yang menggunakan alat tukar uang.
Karena uang tersebutpun dia peroleh dengan sebuah upaya dalam bentuk lainnya. Jadi pada intinya hubungan jual-beli antara manusia dengan manusia lainnya, hakikatnya bertumpu pada menukar upaya dengan upaya lainnya, lewat “jembatan alat tukar” adalah uang (Jaman dahulu bisa juga barter).
Dan jika seluruh upaya atau usaha yang dilakukan antara manusia dengan manusia lainnya dengan mengacu kepada aturan Allah, Insya Allah begitulah salah satu proses mekanisme dimana Allah telah memberikan rizqi kepada hambaNya.
Alhamdulillah setelah berpanjang lebar, semoga Mas Nganu dan kita semua dapat lebih memahami dan menghargai serta bersyukur terhadap apa-apa yang Allah amanahkan kepada kita dalam bentuk rezeki.
Otomatis bukan saja hanya pohon mangga tersebut, tapi juga harta, jabatan, ilmu, keluarga, dan lain-lain, sebagaimana pemahaman konsep rezeki yaitu apa yang kita makan, apa yang kita pakai dan apa yang kita sedekahkan. Semoga menjadi barokah. Aamiin.
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
Twitter: @erickyusuf