Kamis 14 Jun 2012 20:25 WIB

KH Muhammad Dahlan: Perintis Musbaqah Tilawatil Quran (2)

Salah satu peserta MTQ saat membaca ayat suci Alquran (ilustrasi).
Foto: kemenag.go.id
Salah satu peserta MTQ saat membaca ayat suci Alquran (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Organisator ulung

Tampilnya Dahlan di gelanggang pergerakan dimulai pada 1930. Dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama, disebutkan bahwa Kiai Dahlan merupakan tokoh yang merintis terbentuknya organisasi NU cabang Bangil, dan menjadi ketuanya pada tahun yang sama. Lima tahun kemudian ia terpilih menjadi Ketua NU cabang Pasuruan.

Berkat corak kepemimpinan dan integritas kepribadiannya, pada 1936 ia dipercaya menjadi konsul NU Daerah I Jawa Timur yang berkedudukan di Pasuruan. Corak dan kepemimpinan yang diperlihatkan Dahlan menunjukkan bahwa ia adalah seorang organisator yang ulung.

Kiai Dahlan dikenal mahir berargumentasi, sehingga dapat meyakinkan setiap orang yang menjadi lawan bicara. Ketika berlangsung Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, 11-16 Juni 1938, kemampuan berargumentasinya diuji. Terutama ketika berlangsung pembahasan mengenai mekanisme pengumpulan dana organisasi.

Sejarah mencatat bahwa Muktamar NU di Menes tahun 1938 ini merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses terbentuknya organisasi Muslimat NU. Sejak kelahirannya di tahun 1926, NU adalah organisasi yang anggotanya terdiri dari kaum laki-laki saja. Para ulama NU saat itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi.

Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih cukup kuat melekat di sebagian besar warga NU. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi, lebih-lebih dalam Muktamar NU di Menes. Dalam muktamar tersebut, untuk pertama kalinya muncul usulan tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU.

Usul Kiai Dahlan akhirnya disetujui. Dan sejak itu, kaum wanita secara resmi diterima menjadi anggota NU meski sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa boleh menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940.

Dalam muktamar tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri dengan mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak yang gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, hingga muktamar sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement