Rabu 06 Jun 2012 21:25 WIB

Tegaknya Syariat Islam di Mauritania (3)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Muslimah Mauritania.
Foto: ehow.com
Muslimah Mauritania.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai negara Islam, Mauritania tak ingin dianggap sebagai negara Islam yang suka dengan kekerasan dan memusuhi negara atau agama lain. Bila ini terjadi, tentu akan membahayakan Pemerintah Mauritania sendiri.

Kekhawatiran Pemerintah Mauritania mungkin sangat beralasan. Mengingat dalam dua tahun terakhir ini terjadi sejumlah serangan dan tindakan teroris di negara Muslim tersebut, termasuk pembunuhan turis Prancis di Aleg di wilayah selatan pada 2007 dan turis dari Amerika di Ibukota Mauritania, Nouakchott, Juni 2009.

Kelompok Al-Qaidah di Maghreb Islam (AQIM) telah mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan tersebut.

Kendati memiliki kedekatan hubungan dengan Israel, tidak menjadikan Mauritania menjadi sekutu negara zionis tersebut. Ketika militer Israel kembali secara ofensif melancarkan serangan ke Jalur Gaza pada awal 2009 lalu, Pemerintah Mauritania menunjukkan sikap tegas mereka dengan menarik pulang duta besarnya di Tel Aviv.

Meski terbilang negara kecil, Mauritania secara aktif ikut terlibat dalam kancah internasional. Mauritania merupakan negara anggota Liga Arab. Selain itu, Mauritania juga membentuk The Union of The Arab Maghreb bersama Maroko, Libya, Tunisia, dan Aljazair. Organisasi ini bergerak dalam bidang politik dan ekonomi.

Kontroversi khitan bagi wanita

Kendati syariat Islam sudah diberlakukan di wilayah Mauritania sejak 1985, namun tidak berarti pelaksanaannya berjalan mulus. Baru-baru ini, sekitar 34 cendekiawan Muslim di Mauritania menandatangani sebuah fatwa yang melarang praktik operasi pengangkatan genital (khitan) wanita.

Fatwa yang ditandatangani di Ibukota Mauritania, Nouakchott, itu menyatakan bahwa prosedur tersebut telah terbukti menyakitkan, baik pada saat dilakukan maupun setelahnya. Banyak wanita Mauritania yang menyambut baik langkah tersebut.

Praktik operasi pengangkatan genital wanita telah diakui secara global sebagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum wanita. Namun, di sebagian besar negara-negara di kawasan Afrika bagian utara, timur, dan barat, praktik tersebut masih diterapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement