Assalamu'alaikum Wr Wb. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Seringkali kekurangan harta membuat kita tidak dapat bersyukur kepada Allah SWT atas berbagai kenikmatan yang jauh lebih berharga dari harta kekayaan yang telah diberikan kepada kita.
Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa di pagi hari jiwanya aman, fisiknya sehat, dan memiliki jatah makanan untuk sehari. Maka seakan-akan dunia dan segala isinya telah dibentangkan untuknya." (HR. Bukhari)
Namun ironisnya, banyak orang yang mengukur kekayaan dan kemiskinan hanya dengan harta yang dimilikinya. Itu tidak mengherankan karena berbagai informasi yang masuk baik lewat iklan-iklan di televisi, billboard jalanan dan sebagainya.
Lihat saja tidak sedikit nilai-nilai kesuksesan diperkenalkan dengan imaje yang dibangun terhadap masyarakat pada umumnya dengan memperlihatkan nilai sebuah keluarga “harmonis” yang sukses adalah yang mempunyai keluarga terdiri dari seorang istri dan dua anak, yang satu lelaki dan yang lain perempuan sedang bercengkrama didepan sebuah rumah besar yang asri lengkap dengan sebuah mobil terparkir didepannya.
Nilai kesuksesan inilah yang kemudian tertanam baik dalam kesadaran maupun dalam alam bawah sadar anak-anak, remaja bahkan orang dewasa.
Memang tidak salah, namun adakah yang mengedepankan bahwa nilai kesuksesan itu adalah amal saleh atau lebih jauh lagi kemuliaan akhlak?. Dengan iklan-iklan yang disebarkan di televisi-televisi, bando-bando jalan atau poster-poster yang membuat kita tergerak ingin memperbaiki akhlak?
Diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada sahabat Abdullah bin Amr bin Ash, sahabat adalah salah satu “ahli ibadah yang senantiasa bertobat”. Abdullah bin Amr bin Ash ditakdirkan oleh Allah sebagai seorang yang ahli ibadah, ia hafal seluruh ayat-ayat Al Qur’an bukan hanya sekedar kuat daya ingatnya saja namun untuk memupuk jiwa.
Jika dalam peperangan ia ada di barisan terdepan dan bila peperangan usai kita dapat menjumpainya di masjid atau di mushola rumahnya. Lisannya tidak pernah membicarakan sesuatu yang tidak bermanfa’at yang keluar dari bibirnya hanyalah dzikir, bacaan Quran, tasbih, tahmid dan istighfar.
Lalu lelaki itu bertanya kepadanya; "Bukankah aku termasuk kaum muhajirin yang miskin?" Abdullah balik bertanya, "Bukankah kamu memiliki seorang isteri yang menemanimu?" Ia menjawab,"Ya". Abdullah bertanya kembali,"Bukankah kamu memiliki rumah yang kamu tinggali?" Ia menjawab,"Ya". Abdullah berkata,"Berarti kamu termasuk orang kaya." Orang itu berkata,"Aku juga memiliki seorang pembantu." Abdullah berkata,"Kalau begitu, kamu termasuk golongan raja-raja." (HR. Muslim)
Seringkali kita merasa selalu di dalam kekurangan jika dikaitkan dengan harta. Itu dikarenakan jika kita tidak berupaya keras mengendalikan nafsu maka memang manusia akan selalu berupaya memenuhinya.
Seperti hadis berikut ini; Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)
Karena itu apakah sebenarnya kekayaan yang hakiki itu?
“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051).
Oleh karena itu, banyak berdoalah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Doa yang selalu dipanjatkan oleh Nabi Muhammad saw adalah doa: “Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina” (HR. Muslim no. 2721)
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “‘Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 17/41, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobi)
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
Twitter: @erickyusuf