Jumat 25 May 2012 17:57 WIB

Mujahidah: Barirah, Dimerdekakan Ummul Mukminin (1)

Rep: Susie Evidia/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Islam yang menaikkan derajat kaum perempuan. Sebelum Islam diturunkan Allah ke bumi, perempuan bagaikan makhluk yang hina.

Para pria sesuka hati memperlakukan kaum Hawa ini, merampas dan memperkosa hak-haknya, lalu mencampakkan begitu saja.

Rasulullah membawa kabar gembira, yaitu menjunjung tinggi harkat perempuan. Pria tidak bisa lagi sewenang-wenang mendapatkan perempuan, melainkan harus meminang lebih dahulu, memberi mahar, dan menikah secara sah.

Penghargaan terhadap perempuan berlaku untuk semua Muslimah. Bahkan terhadap budak belian pun, Rasulullah membelanya seperti diriwayatkan pada kisah Barirah. Dia seorang budak berkulit hitam asal Ethiopia. Majikannya, Utbah bin Abu Lahab, menikahkan Barirah dengan budak kulit hitam bernama Mughits milik Bani Al-Mughirah.

Sebagai budak, Barirah tidak bisa menolak keinginan majikannya. Padahal hati kecilnya tidak ikhlas menikah dengan Mughits. Jalan keluarnya, Barirah berniat memerdekakan diri dengan perjanjian menyicil sejumlah uang sebagai ganti harga dirinya kepada majikan.

Dia menemui istri Rasulullah, Aisyah RA, untuk meminta bantuan. Aisyah berkata, “Kembalilah pada tuanmu dan katakan kalau mereka mau, aku akan membayar tunai seluruh hargamu. Lalu kumerdekakan dirimu dan nanti wala’mu untukku.”

Pesan Aisyah disampaikan kepada Utbah bin Abu Lahab. Namun hasilnya nihil, si majikan menolak usulan tersebut. Dia menginginkan wala’ tetap untuknya. Permasalahan ini didengar sampai ke Rasulullah.

Beliau bertanya kepada istrinya, apa sebenarnya permasalahan dari Barirah? Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Mendengar penuturan Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, “Belilah dia, lalu merdekakan. Sesungguhnya hak wala’ (kekerabatan) itu bagi orang yang memerdekakan.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ketika berkhutbah di hadapan umatnya, Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana kiranya keadaan suatu kaum, mereka mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah. Syarat manapun yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat itu batil, biarpun seratus kali mereka mengajukan syarat. Ketetapan Allah itu lebih haq, syarat Allah itu lebih kokoh. Bagaimana kiranya salah seorang dari mereka bisa mengatakan, ‘Bebaskanlah budak, wahai fulan, sementara wala’nya untukku. Sesungguhnya wala’ itu hanya untuk yang memerdekakan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement