Ahad 29 Apr 2012 14:59 WIB

Panggung Manusia Bermuka Dua

Suasana rapat paripurna yang membahas RUU tentang Perubahan UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 terkait subsidi BBM di Gedung DPR-MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (31/3).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto Republika/Edwin Dwi Putranto
Suasana rapat paripurna yang membahas RUU tentang Perubahan UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 terkait subsidi BBM di Gedung DPR-MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (31/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Hasyim Muzadi

Pemerintahan dibuat dengan misi tertentu. Antara lain, untuk mempercepat tercapainya kehidupan rakyat yang lebih sejahtera. Pemerintahan merupakan representasi dari kepentingan rakyatnya. Karena itu, perangkat-perangkat yang dibuat dan aparatur-aparatur yang dipilih, harus ditujukan untuk mendukung rakyat agar lebih mudah memenuhi kebutuhan mereka. Dalam hal-hal tertentu, menjadi lucu kalau pemerintah selalu merasa lebih tahu kebutuhan rakyat dibanding rakyat itu sendiri.

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah contoh nyata bagaimana mereka mengaku lebih paham dari rakyat mengenai kebutuhan rakyat. Rakyat kita, sudah bukan anak kecil lagi apalagi bayi, sehingga setiap keinginan dan kebutuhannya harus di-top-down oleh penguasa. Pemerintah justru lebih mementingkan upaya menyelamatkan nasib APBN daripada menyelematkan nasib rakyatnya. Sebuah logika yang terbalik-balik.

Seakan-akan hanya pemerintah yang dapat memahami hitung-hitungan mengenai kebutuhan akan energi sehingga mereka tak pernah bisa menerima rasionalitas dalam bentuk apa pun yang ditawarkan oleh rakyat. Mereka berkeras hati dengan pilihannya bahwa hanya dengan menaikkan harga BBM bersubsidi maka jalan penyelamatan ekonomi bisa dilakukan dengan soft. Tapi, begitulah logika pemerintah.

Tabiatnya merasa paling benar. Kalau itu yang mereka inginkan —paling benar sendiri, seharusnya mereka juga mem buka peluang bagi lahirnya kebenaran- kebenaran lain dengan ra sionalitasnya yang berbeda-beda pula. Bukankah di begitu banyak persoalan pada begitu beragam situasi yang menyertainya, kerap muncul kemungkinan lahirnya multiple-reality?Kenapa? Kare na alam memang menyediakan sudut pandang yang berbedabeda. Bukankah jika hasil foto yang kita dapat tidak memuaskan, amatlah tidak mungkin kita memindahkan pohon?

Tapi, begitulah tabiat pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok kecil penguasa. Karena, tata kelola politik kita dalam menjalankan roda kenegaraan menggunakan sistem representasi maka para penguasa memanfaatkan betul celah ini. Penguasa —dengan kontrak po litik yang dibuat— memanfaatkan kelebihan kekuasaannya dengan memaksa kekuatan frak si-fraksi, kepanjangan t ngan partai politik di lembaga legislatif, untuk menerima rencana mereka menaikkan harga BBM bersubsidi.

Sayangnya, ingatan rakyat kita sering begitu pendek. Hanya dengan janji, tangan-tangan ke kuasan yang mencengkeram leher, dengan mudah dilupakan. Tetapi, untuk sementara waktu, kita tidak akan lupa sandiwara rapat paripurna DPR akhir pekan lalu (30/3). Suatu rapat yang menyisakan rasa kecewa mendalam bagi rakyat. Bagaimana tidak, para wakil rakyat yang di per caya membawa amanah un tuk memperjuangkan kehidupan rakyat yang lebih baik, justru berkolaborasi dengan pemerintah. Dalam konteks rencana menaikkan harga BBM, pemerintah jelas secara terang-benderang berada dalam posisi berhadap- hadapan dengan rakyat.

Yang tidak jelas posisinya justru para wakil rakyat—utusan partai politik, yang selalu merasa alat paling otoritatif mengagregasi kepentingan rakyat. Tapi, lihatlah bagaimana sepak terjang me reka malam itu. Keinginan rakyat yang menguat sejak beberapa bulan terakhir, sama sekali tidak tecermin dalam keputusan akhir rapat paripurna. Rakyat cuma ingin: harga BBM tidak naik.

Bukan tidak naik pada 1 April dan boleh dinaikkan, dengan alasan dan dalih apa pun, setelah tanggal itu berakhir. Sungguh tak bisa dibayangkan, bagaimana para wakil rakyat menyimpan muka mereka jika pada 2 April lalu mendadak pecah perang antara Iran dan Israel-AS, sehingga harga minyak dunia bergejolak hebat. Tapi malam itu, untuk kepentingan jangka pendek, mereka — dengan mengabaikan nurani — kembali bersekongkol mengelabui rakyat yang memilih mereka pada setiap pemilu.

Itulah mengapa penulis merasa penting mengutip penggalan ayat di awal tulisan ini, untuk menjadi pengingat bahwa Allah ADA dan selalu menyaksikan. Termasuk menyaksikan me reka yang telah menunaikan sumpah jabatan atas nama Allah dan atas nama Tuhan Yang Maha kuasa. Bersaksi di hadapan makhluk penghuni kolong langit bahwa mereka siap menjadi pelayan, pelindung, serta pe juang bagi tegaknya keadilan demi tercapainya kehidupan bersama yang sesuai perintah serta tuntunan Allah SWT.

Yastakhfuuna minan-maas. Wa laa yastakhfuuna minallaahi wa huwa ma’ahum. Idz yubayyituuna maa laa yardlo minalqauli. Wa kaanallaahu bimaa ya’maluuna muhiitho.”Mereka Bersembunyi dari manusia tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka. Ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS an- Nisaa’ [4]: 108).

Tapi, kita semua sudah mafhum. Sidang paripurna menyerahkan keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi kepada pemerintah dengan syarat, tak lebih dari sekadar akal-akalan partai pendukung pemerintah. Lagi-lagi rakyat dibodohi oleh partai dan pemimpinnya. Pada 1 April BBM memang tidak naik, tapi dalam waktu dekat bisa naik. Bahkan, karena terbiasa ber sandiwara, hasil paripurna itu sudah bisa ditebak sejak awal, meskipun sejumlah partai ang gota koalisi sebelumnya bersikap seolah-olah menolak kenaikan harga BBM. Partai yang punya menteri di kabinet sejak awal diprediksi bermain di dua kaki.

Mereka pasti mendukung sikap pemerintah menaikkan harga BBM, tapi seolah-olah prorakyat, dan Presiden pasti tahu penolakan partai koalisi terhadap kenaikan harga BBM adalah setengah-setengah. Pemerintah hampir tidak mungkin tidak menaikkan BBM. Jelas, partai yang tidak punya menteri di kabinet dengan mudah bergabung dengan rakyat. Sedangkan partai yang punya menteri pasti berkaki dua namun bermuka dua karena tidak mau kehilangan muka di mata rakyat, namun juga tidak mau kehilangan kaki di kabinet.

“…Wa tajiduuna syarron naasi dzal wajhaini. Alladzi ya’tii haa`ulaa-i bi wajhin wa haa`ulaa-i bi wajhin—…” Dan kalian akan menemukan sejelek-jelek orang yang bermuka dua: Ia datang pada suatu kaum dengan satu muka dan datang pada kaum yang lain dengan muka yang berbeda.” (Muttafaq ‘Alaihi). Hadis ini memudahkan kita mengambil kesimpulan bahwa seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang berkaki dua tapi kerap bermuka dua. Na’udzubilLaahi Min Dzalik. Wallaahu a’lamu.

Dikutip dari Koran Republika rubrik Refleksi edisi Minggu, 08 April 2012 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement