REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dengan populasi muslim yang terus bertambah, tak mustahil Amerika Serikat (AS) menjadi pusat keuangan syariah. Namun, AS masih terlihat malu-malu kucing dalam melihat potensi itu. Tak heran, AS jauh tertinggal ketimbang Inggris yang sudah lebih dulu mengadopsinya.
"Jumlah muslim AS merupakan potensi bisnis baru yang dapat mengeliatkan ekonomi AS yang tengah lesu," komentar Direktur dan Pendiri Dinarstandar, sebuah perusahan riset pemasaran, Rafi-uddin Shikoh, seperti dikutip thehuffingtonpost.com, Kamis(19/4).
Shikoh mengatakan, dalam riset yang dilakukannya mencatat industri ritel, makanan, dan keuangan belum menjangkau muslim AS hingga saat ini. Padahal dengan pengeluaran sebesar 107-124 juta dolar AS, muslim di sana menyadari bahwa mereka memiliki pengaruh terhadap pasar. "Para pebisnis AS entah sadar atau tidak, memiliki kesempatan untuk masuk," kata dia.
Tahun lalu, lembaga riset AS, The Pew Research center dalam surveinya menyebutkan, populasi muslim AS mencapai 2,8 juta jiwa. Mereka secara karakteristik cukup makmur dan sejahtera ketimbang kelompok lain di AS. Pew mencatat penghasilan muslim AS mencapai 100 ribu dolar AS per tahun.
Direktur ogilvy Noor, anak perusahaan agensi ternama Ogilvy & Mather, Al-Sarab Jijakli, mengatakan jumlah konsumen muslim yang cukup besar merupakan modal utama untuk bergeliatnya bisnis syariah. "Saat ini banyak produk yang telah muncul," katanya.
Seperti diberitakan, saat krisis ekonomi menghantam dunia dua tahun lalu, perbankan Islam menjadi juru selamat. Sistem ini menjadi area pertumbuhan utama untuk pembiayaan internasional. Memang asetnya hanya mewakili sekitar 2 - 3 persen dari aset keuangan global, atau hampir 1 triliun dolar AS, tetapi tumbuh rata-rata 25 persen setiap tahun.
Kini banyak negara berlomba untuk menjadi pusat global bisnis keuangan syariah. Untuk yang satu ini, London jauh di depan New York. London menjadi mercusuar ekonomi syariah di Eropa.