Ahad 15 Apr 2012 19:30 WIB

PBNU: Nahdliyin Kehilangan Ruh Aswaja

Rep: Indah Wulandari/ Red: Hafidz Muftisany
Ribuan warga Nahdatul Ulama (NU) memadati Stadion Gelora Bung Karno saat peringatan Hari Lahir PBNU ke-85, Jakarta, Minggu (17/7).
Foto: Antara
Ribuan warga Nahdatul Ulama (NU) memadati Stadion Gelora Bung Karno saat peringatan Hari Lahir PBNU ke-85, Jakarta, Minggu (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, KENDAL -- Khatib Syuriah PBNU KH Yahya Cholil justru melihat kecenderungan para nahdliyin mulai kehilangan konsep identitas ke-aswajaannya. "Kalau dulu ikut NU itu sama dengan nunut mati (ikut sampai mati). Fungsi NU berubah sebagai identitas simbolis, sekarang keduanya tak bisa berfungsi baik,"paparnya.

Hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 2000 ini mendapatkan faktor penyebabnya karena perubahan pola pikir serta dinamika sosial masyarakat. "Daya panggil sebagai warga NU yang aswaja sudah terlalu jauh karean karakteristik masyarakat desa yang komunal bergeser ke karakteristik kota yang individual,"ungkap Yahya.

Maka, ia menemukan kini NU sebagai wadah besar komunitas Muslim ternyata belum mampu menyentuh kembali jiwa aswaja. Justru muncul kelompok yang lebih melunak dan sporadis di berbagai tempat seperti majelis zikir dan majelis taklim. Massa pun bergeser ke kelompok ini berkat daya tarik pemimpinnya yang meraup ribuan jamaah.

"Sekarang sulit mengenali kyai yang beneran karena masyarakat hanya melihat keturunan sebagai simbol kuat atau sebagai cucu Nabi Muhammad saja,"ujar Yahya. Padahal jika dirunut, dahulu banyak kyai juga yang silsilahnya dari Nabi Muhammad tapi memakai nama Jawa.

"Tugas para ulama NU ke depan harus menumbuhkan kelompok seperti ini yang kompatibel, kita perlu memelihara kelompok dan menghubungkan dalam jejaring ini. Sehingga amaliyah mereka sama dengan aswaja dan juga mengaku NU. Ponpes juga bisa kembali ke diniyahnya," terang Yahya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement