Kamis 12 Apr 2012 11:46 WIB

Hujjatul Islam: Buya Hamka, Ulama Besar dan Penulis Andal (4-habis)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Buya Hamka
Foto: hasanalbanna.com
Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, Semasa hidupnya, Hamka dikenal sebagai sosok yang memiliki pendirian yang tegas, terutama dalam memperjuangkan dakwah Islam. Sikap tegasnya ini juga ditunjukkannya manakala pada tahun 1975 ia diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Fatwa Haram yang Menuai Kecaman

Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi terhadap Hamka. Bila jabatan tersebut diterimanya, maka dikhawatirkan ia tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam saat itu.

Namun, Hamka menepis keraguan itu dengan mengambil langkah memindahkan kantor pusat kegiatan MUI dari Masjid Istiqlal ke Masjid Al-Azhar. Langkah ini ditempuh Hamka untuk mendorong MUI menjadi lembaga yang independen.

Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI mulai terasa ketika pada awal 1980 lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Saat itu, Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu.

Keberadaan fatwa tersebut kontan saja membuat geger publik. Terlebih lagi pada waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan Natal bersama. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal, maka mereka dianggap kaum fundamentalis dan anti-Pancasila.

Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa fatwa tersebut akan mengancam persatuan negara. Melalui sebuah tulisan yang dimuat di Majalah Panjimas, Hamka berupaya mempertahankan fatwa haram merayakan Natal bersama bagi umat Islam yang dikeluarkannya.

Hamka yang waktu itu tetap berpendirian teguh tidak akan mencabut fatwa Natal tersebut, akhirnya memilih untuk meletakkan jabatannya setelah ada desakan dari pemerintah. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981.

Oleh sejumlah kalangan, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, banyak pihak yang mengatakan sepeninggal Hamka, Fatwa MUI terasa menjadi tidak lagi menggigit. Bahkan di masa Orde Baru, posisi lembaga ini terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement