Ahad 08 Apr 2012 08:08 WIB

Haji Narapidana, Apa Hukumnya?

Jamaah haji jelang jumrah, Selasa (8/10)
Foto: AP
Jamaah haji jelang jumrah, Selasa (8/10)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri

Kesempatan untuk menunaikan ibadah haji menjadi dambaan setiap pribadi Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, masih muda ataupun sudah berusia lanjut. Seakan belum lengkap keislamannya bila belum menunaikan ibadah haji. Namun demikian, menunaikan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah mampu (istitho’ah), dan tidak diwajibkan bagi yang tidak mampu. (QS Ali Imran [3]: 97).

Walaupun hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, sejumlah umat Islam berupaya untuk bisa menunaikan ibadah haji. Bahkan, yang sudah berhaji pun banyak yang ingin mengulanginya. Sebab, Rasul SAW bersabda, “Kewajiban berhaji hanya sekali, adapun haji yang kedua, ketiga, dan seterusnya sunah.” Hukum sunah inilah yang kemudian banyak umat Islam mengupayakan dirinya untuk mengulangi atau melaksanakan ibadah haji untuk yang kedua kali.

Mengenai hal ini, Majelis Ulama Indonesia pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI pada Jumadil Akhir 1404 H atau Maret 1984 telah merekomendasikan tentang kewajiban haji ini. Dan, khusus kepada umat Islam yang sudah berhaji dan yang berkali-kali berhaji, diimbau untuk menggunakan dana berhaji itu untuk kepentingan yang lebih bermanfaat.

Karena hal inipula, banyak umat Islam yang berupaya untuk mengulanginya lagi, termasuk orang-orang yang menjadi narapidana (terhukum), termasuk pula koruptor. Bagai manakah bila narapidana ingin berhaji dan kemampuan sudah cukup? Lalu bagaimana pula hukumnya koruptor berhaji?

Pertanyaan-pertanyaan ini kerap dikemukakan. Dan, jawabannya pun sudah disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berikut pandangan dan fatwa MUI tentang hajinya para narapidana dan koruptor.

MUI menetapkan bahwa orang yang sudah mempunyai biaya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi situasi dan kondisi yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakan ibadah haji, baik karena sudah terlalu tua, penyakit, maupun karena dilarang oleh peraturan perundangundangan seperti narapidana, maka mereka dipandang telah memenuhi syarat istitho’ah (mampu). Hukumnya ia tetap memiliki kewajiban untuk berhaji. Apalagi yang belum pernah berhaji.

Tetapi, kewajiban itu menjadi gugur atau belum bisa dikatakan isthito’ah manakala yang ber sang kutan sedang berhalangan, karena suatu penyakit atau perkara yang menghalanginya. Dan, untuk orang yang sudah mampu berhaji, namun berhalangan itu, maka dia tidak boleh melaksanakan haji pada saat itu. Tetapi, ia wajib membiayai orang lain untuk berhaji yakni sudah dianggap mampu melaksanakan ibadah haji.

Lalu, bagaimana bila dana haji yang digunakan dari hasil korupsi dan yang narapidana itu juga se orang koruptor? Dalam hal ini, sudah jelas hukumnya bahwa hal itu tidak sah. Allah SWT itu baik dan hanya menerima amalan yang baik-baik saja. Amalan yang baik tapi harta yang digunakan dari sesuatu yang rusak (buruk), maka amalan itu jelas tidak bisa diterima.

Imam Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang berangkat untuk menunaikan ibadah haji de ngan nafkah yang baik (halal) pada waktu meletakkan kakinya pada kendaraan dan menyeru talbiyah, memanggilnya seorang pengundang dari langit, Engkau telah memenuhi panggilan itu dan engkau telah berbahagia, bekalmu halal dan perlengkapanmu halal, hajimu berpeluang mendapatkan haji mabrur.”

“Dan apabila ia berangkat de ngan nafkah yang buruk (haram), pada waktu meletakkan kakinya pada kendaraan dan menyeru talbiyah, memanggilnya seorang peng undang dari langit, Engkau tidak memenuhi panggilan itu dan engkau tidak tergolong orang yang berbahagia, bekalmu haram dan perlengkapanmu haram, dan peluang mendapatkan haji mabrur tertutup (mardud).”

Dari sini jelas bahwa haji yang dilakukan dengan biaya yang tidak halal maka ibadah hajinya tidak dapat diterima, amalannya ditolak, dan ia termasuk orang-orang yang rugi. Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement