Kamis 05 Apr 2012 18:25 WIB

Muslim Perancis: Masalah Sebenarnya adalah Diskriminasi

Rep: Agung Sasongko/ Red: Karta Raharja Ucu
Seorang wanita Perancis mengenakan burqa di luar kota Paris. Dari 5 juta warga muslim Perancis, hanya sekitar 2.000 wanita muslim yang mengenakan burqa menutupi seluruh tubuh, termasuk wajah.
Foto: ap
Seorang wanita Perancis mengenakan burqa di luar kota Paris. Dari 5 juta warga muslim Perancis, hanya sekitar 2.000 wanita muslim yang mengenakan burqa menutupi seluruh tubuh, termasuk wajah.

REPUBLIKA.CO.ID, MARSEILLE -- Tekanan Prancis terhadap umat Muslim Perancis mulai memberikan dampak psikologis. Kondisi itu meruntuhkan kepercayaan umat Muslim Perancis terhadap kesetaraan atas keberagamaan dalam prinsip-prinsip kenegaraan Republik Perancis.

Nassurdine Haidar, seorang mantan imam dan imigran menyadari posisinya hanya dimanfaatkan para politisi Perancis sebagai simbol untuk mempromosikan kecemasan rasial dan agama. Sebagai contoh saja, ujarnya, kandidat presiden dari partai Sosialis, Francois Hollande saat berkampanye tentang keberagaman, kesetaran, dan penciptaan lapangan kerja menyatakan, sudah seharusnya ada menteri perempuan dalam kabinet.

"Namun, jabatan itu bukan untuk imigran. Kita perlu seorang menteri untuk menangani persoalan diskriminasi," katanya seperti dikutip newyorktimes.com, Kamis (5/4).

Yang lebih mengkhawatirkan, sambung Haidar, adalah kampanye ala incumbent Nicholas Sarkozy. Menurut Haidari, Sarkozy memainkan politik kambing hitam. Dalam setiap kampanyenya, sarkozy ingin menunjukan Perancis dapat menangani Muslim. "Ia (Sarkozy) melakukan itu untuk memberikan tekanan terhadap muslim," katanya.

Sarkozy, masih kata Haidar, terus membawa arah politik Perancis condong ke kanan. Perubahan itu berpengaruh terhadap penanganan masalah imigrasi, radikal Islam dan budaya Muslim.

Haidar menyebut, Marseille merupakan contoh betapa prinsip kesetaraan mulai diabaikan. Dewan kota tidak pernah ingin ada sebuah masjid besar di kota yang menjadi tujuan para imigran Muslim. "Orang-orang disini tidak menginginkan Islam dan Muslim terlihat," ujarnya.

Padahal, sebagian Muslim tidak peduli tentang masjid. Mereka hanya berharap memperoleh pekerjaan guna menghidupi keluarganya, ingin pendidikan yang lebih baik. Namun, yang terjadi anak-anak Muslim meninggalkan sekolah untuk bekerja.

"Seorang anak yang lahir sudah dikutuk untuk dikecualikan dari masyarakat, karena ia tinggal di permukiman kumuh dan belum terdidik dengan baik," katanya. "Ada ghetoisasi (tidak ada pembauran) yang menciptakan ketidakadilan," ketusnya.

Muhammad Jamat, yang bekerja di toko pamannya, Les Épiceries de Provence, sempat mengalami betapa sulitnya mencari pekerjaan. Ia datang dari Italia menuju Marseille, karena percaya kota tersebut menyediakan lapangan pekerjaan untuknya.

Namun, faktanya tidak demikian. Sebab, banyak pihak yang menolaknya karena namanya 'berbau' Muslim. "Kami tidak mempekerjakan orang-orang seperti Anda. Nanti saya telepon kembali," kenang Jamaat menirukan penolakan yang dilakukan.

Haidari mengatakan, pada dasarnya inti dari permasalahan yang dihadapi Muslim Perancis adalah diskriminasi. Kesimpulan itu ia dapatkan saat berkunjung ke Chicago, Amerika Serikat, pada 2010 lalu.

"Yang saya pelajari di Chicago adalah memperjuangkan apa yang bisa Anda dapatkan. Anda tidak bisa mengubah dunia, tapi Anda dapat mengubah hal yang konkret. Di Perancis, masalah sebenarnya adalah diskriminasi, bukan burqa (cadar). Yang selanjutnya menyebabkan jutaan orang menganggur," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement