REPUBLIKA.CO.ID, Masuk Universitas
Namun demikian, ketika ia masuk Universitas Toronto dan sedang melakukan percobaan kromatologi di laboratorium mikrobiologi, Taylor melihat partikel klorofil di daun dan sesaat ia berpikir pasti ada Tuhan. “Itu pencerahan yang luar biasa, saya harus tahu apa hubungan saya dengan Tuhan dan apa tanggung jawab saya,”jelas Taylor.
Saat itu, ada beberapa pria yang bukannya pergi ke Vietnam untuk berperang, justru masih berada di Kanada karena telah menjadi muslim. Ia dan beberapa lelaki itu menghadapi perdebatan tentang politik, agama dan kehidupan yang ada di serikat mahasiswa.
Ketika ia mendengar tentang Islam lagi, ia memutuskan Islam akan menjadi jalan hidupnya. Islam tidak bergema dengannya sama sekali. Taylor mengaku tidak benar-benar mengalami rasisme apapun meski dibesarkan di lingkungan kulit putih.
Namun, selama perdebatan ini ada tema tetap bahkan jika kita adalah orang yang sadar politik yakni kesadaran spiritual. “Saya mencari formula untuk tak hanya mendapat kedamaian rohani dan kedamaian batin, tetapi yang memberi bentuk, struktur dan penguasaan diri, semua itu ada dalam Islam,” katanya.
Pada akhir tahun 1960-an, adalah masa pergolakan dimana semua orang melakukan hal mereka sendiri. Taylor selalu ingin tahu tentang keberadaan dan benar-benar perlu struktur dalam hidupnya. “Islam pasti memberikan itu,” jelasnya.
Taylor akhirnya berhenti dari kuliahnya di University Tokyo dan kembali ke Barbados. Orang tuanya telah membuat rumah di sana. Pada saat itu, Taylor mengalami pergolakan batin. Ia memerlukan perubahan tetapi belum memutuskan apa dan bagaimana perubahan tersebut. “Akhirnya saya memutuskan pergi ke Barbados, merenung dan menghabiskan beberapa bulan di pantai dan memutuskan masuk Islam,” terangnya.