REPUBLIKA.CO.ID Mimbar sambung berfungsi untuk memperjelas isi khutbah kepada jamaah yang berada di belakang, karena waktu itu belum ada alat pengeras suara.
Masjid Raya Ganting, Padang, terletak sekitar satu kilometer dari Plein van Rome [sekarang lapangan Imam Bonjol] di alun-alun kota. Di ujung selatan alun-alun ini, di tahun 1970-an, didirikan pula sebuah masjid bernama Nurul Imam, di baratnya di sisi pasar yang hiruk pikuk, menjulang puncak Masjid Taqwa Muhammadiyah. Ketiga masjid ini, memegang peranan penting untuk kota itu. Dari ketiga masjid itu, Masjid Raya Ganting, merupakan masjid paling tua, dua lainnya adalah masjid modern. Padang, menurut seorang sarjana Jerman, Hans Dieter Evers, adalah kota yang mencengangkan.
Di sini, simbol-simbol agama Islam, adat suku Minangkabau, nasionalisme serta modernisasi, berpadu menjadi empat bagian dari sebuah dunia nyata. Dunia nyata itu, kata orang Padang, adalah sebuah keniscayaan. Dan, tentu juga sebuah keniscayaan, kalau pertumbuhan rumah-rumah ibadah (Islam) dari tahun ke tahun di kota itu, menanjak tajam. Meski begitu, tiga simbol rumah ibadah, takkan terlupakan, sampai kapanpun. Ketiganya: Masjid Raya Ganting, Masjid Taqwa Muhammadiyah dan Masjid Presiden (Nurul Iman).
Masjid Raya Ganting, adalah juga sebuah monumen dari kota tua yang nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuknya kota modern yang dibangun secara serampangan. Masjid ini, menurut tutur tetua Ganting, dibangun awal tahun 1815 dan baru benar-benar selesai setelah 100 tahun kemudian. Masjid ini, ketika itu, merupakan sebuah kebanggaan umat Islam Padang. Menurut ahli hisab, (alm) Nurmal Nur, teramat banyak masjid baru di Padang yang salah arah kiblatnya. Namun tidak Masjid Raya Ganting.
Kecermatan pemuka Islam tempo dulu mencari arah kiblat, dengan sempurna telah ditunjukkan oleh kehadiran masjid itu. Kesempurnaan itu, juga tidak terlepas dari sumbangan pemikiran dan tenaga yang diberikan secara aktif oleh Komandan Genie Belanda, yang beragama Nasrani. Kemudian, jika hendak mendirikan masjid baru, maka Masjid Ganting adalah kompasnya. Dewasa ini, Masjid Raya Ganting berdiri kukuh-kukuh di sela-sela pemukiman penduduk.
Di depannya ada sebuah jalan kecil, yang berbelok. Dan seperti ditelan sejarah saja, masjid ini, bukan lagi menjadi obyek kunjungan pejabat resmi. Tapi fungsi masjid memang bukan untuk itu. Tanpa hal demikian pun, Masjid Raya Ganting, sesungguhnya telah menorehkan sesuatu yang berarti bagi perkembangan Islam di Ranah Minang. Ia telah menjadi simbol agung, di tengah sebuah kota yang menamakan dirinya kota modern. Masjid Raya Ganting berdiri di atas tanah wakaf milik tujuh sukun di Padang. Tanah itu, kemudian diserahkan kepada pemerintah, untuk selanjutnya dibangunlah masjid di atasnya.
Sepanjang sejarah pembangunannya, pemerintah kolonial Belanda memberikan jalan yang wajar bagi warga kota untuk menyelesaikan pembangunan rumah ibadah itu. Mula-mula sekali, masjid ini, didirikan dekat Gunung Padang, kemudian diingsut ke tepi Batang Arau, lalu ke tempat yang sekarang. Seperti juga masjid-masjid lainnya, sumbangan tokoh masyarakat, saudagar dan orang berpengaruh dalam kampung memberi arti yang dominan.
Untuk masjid ini, saudagar di Pasar Gadang, seperti Angku Gapuak telah menyumbang banyak. Hal serupa juga dilakukan oleh Angku Syekh Haji Umar, kepala kampung yang sangat berpengaruh di Ganting ketika itu. Juga Angku Syekh Kapalo Koto, ulama kharismatik di Padang. Rakyat lalu bahu membahu membangun masjid di atas tanah 30x30 m2. Sementara itu, sumbangan terus mengalir dari berbagai penjuru dari Aceh, Singkel, dari Medan bahkan dari Tanah Semenanjung.
Para tukang piawai berdatangan dari berbagai pelosok, karena diutus oleh ulama-ulama setempat. Tukang-tukang itu datang dari Batusangkar, Padang Ganting, Limo Kaum, Ampek Angkek, Pasaman, Muara Labuh dan Indropuro. Kayu yang dipakai, diambilkan dari kayu jenis paling bagus, Kayu ulin, didatangkan dari Bangkinang, Riau, melewati berlapis-lapis bukit. Kayu rasak, didatangkan dari Pasaman dan Indrapura, dua kutub yang terletak berseberangan, satu di utara, lainnya di selatan Kota Padang.
Kayu-kayu tadi diangkut dengan pedati, dari hutan belantara ke Kota Padang. Sebuah perjalanan panjang, bersejarah dan melelahkan. Bahan-bahan seperti seng, ubin, dan semen didatangkan secara khusus dari Belanda. Penuh benar perhatian pemerintah Belanda untuk masjid yang satu ini. Sampai tahun 2000, seng masjid itu, tak pernah diganti, meski usianya kini sudah 185 tahun. Pada tahun 1819, pembangunan tahap awal pun rampung dengan 25 tiang, melambangkan jumlah rasul.
Tiap tiang dihiasi dengan kaligragfi nan indah. Waktu itu lantainya hanya terbuat dari batu-batu pipih bersusun. Beberapa tahun kemudian kiriman semen pun sampai di Padang. Digantilah lantai masjid ini dengan semen. Hampir satu abad kemudian, barulah lantai masjid ini dipasangi ubin. Sebuah pesanan partai besar dari negeri Belanda sampai di Padang pada tahun 1900. Pesanan dari pengurus masjid Raya Ganting itu, diantar oleh perusahaan Jacobson Van Den Berg. Dari gudangnya di Muara Padang, diantarlah pesanan tadi ke Ganting.
Rakyat ramai melihat apa yang datang. Rupanya ubin. Ubin itu kemudian dipasang untuk lantai masjid, dikerjakan oleh tukang khusus yang dikirim oleh pabrik ubin tadi. Di tengah-tengah masjid dibuatlah sebuah mimbar sambung, yaitu tempat seseorang berdiri guna menyambung isi khotbah khatib di mimbar utama. Mimbar sambung berfungsi untuk memperjelas isi khutbah kepada jamaah yang berada di belakang, karena waktu itu belum ada alat pengeras suara. Setelah alat itu ada, mimbar sambung pun dirobohkan.
Di masjid ini, pada mulanya berkumpul tokoh-tokoh Islam konservatif Minangkabau, terutama pada abad 18 dan 19. Pada 1918, misalnya Masjid Ganting dijadikan tempat pertemuan ulama se Minangkabau. Pertemuan itu, membicarakan banyak hal, yang kemudian berpengaruh besar dalam pergolakan agama di Minangkabau di kemudian hari. Masjid ini, sekaligus adalah juga catatan sejarah. Betapa tidak, Presiden dan Wakil Presiden RI Soekarno-Hatta pernah melakukan shalat berjamaah di sini. Kedua pemimpin ini dijamu oleh tokoh masyarakat Ganting Datuk Marah Alamsyah.
Bukan hanya itu, masjid Ganting juga berfungsi sebagai tempat transit bagi jamaah haji yang hendak berangkat ke Mekkah lewat Pelabuhan Emma Haven (sekarang Telukbayur) yang dibuka pada 1895. Bahkan jauh sebelumnya, di sini dilakukan untuk pertama kalinya manasik haji. Pembimbingnya seorang syekh dari Arab Saudi bernama Abdul Hadi. Tidak hanya bermukim di sini, tapi Syekh juga memperistri gadis Minang. Kemudian dengan tujuh anak dan istrinya, ia kembali ke Arab Saudi.
Catatan lain dari masjid tua yang kian antik itu, pada tahun 1932 dijadikan arena jambore Hisbul Wathan se Indonesia. Kemudian ketika revolusi fisik, Sekutu membawa serta tentara Gurkha, yang sebagian di antaranya Muslim. Mereka menunaikan shalat dan Shalat Idul Fitri di masjid ini. Bahkan ketika seorang prajurit Muslim itu, tewas dalam perkelahian di markas militer yang hanya berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di Masjid Ganting. Pada dekade lebih kontemporer lagi, masjid ini telah melahirkan sejumlah tokoh hebat semisal Syekh Daud Rasyid Mansur dan Buya Palimo Kayo. Ini bisa terjadi, karena Masjid Ganting bukan sekadar masjid. Di halamannya juga didirikan lembaga pendidikan, seperti Thawalib.
Begitulah Masjid Raya Ganting, hadir di tengah-tengah Kota Padang yang kaya simbol. Simbol modern, dengan corak bangunan penduduk yang meniru gaya Spanyol. Simbol adat dengan atap bangunan bagonjong dan simbol nasionalisme dengan bertebarannya patung-patung dan tugu perjuangan di kota itu. Suara adzan dari masjid ini terus menggema, mencabik awang-awang Kota Padang. Gemanya, terkadang kalah oleh hiruk-pikuknya kendaraan di jalanan, dan kalah juga oleh dentuman musik entah dari mana. Allahu akbar.