Jumat 09 Mar 2012 16:05 WIB

Pendiri Mazhab: Imam Hanafi, Dari Pedagang Menjadi Imam Besar (3)

Rep: Burhanuddin Bella/ Red: Chairul Akhmad
Imam Hanafi (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Imam Hanafi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Imam Hanafi, menurut situs Wikipedia, merupakan seorang tabi’in, generasi setelah sahabat nabi. Ia dikabarkan pernah bertemu dengan salah seorang sahabat nabi bernama Anas bin Malik.

Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang melahirkan karya dalam bidang fikih berdasarkan urutan bab-bab seperti yang kita kenal saat ini, yaitu berawal dari bab kesucian (thaharah), shalat dan seterusnya. Metode penyusunan kitab semacam ini kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim, dan lainnya.

Syahdan, pada sebuah masa, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur memanggil tiga ulama besar ke istananya. Baginda berniat memberikan jabatan yang cukup tinggi dalam kenegaraan kepada ketiga ulama itu. Tiba di istana, ketiganya diberi surat pelantikan sebagai qadhi (hakim) di wilayah yang berbeda. Tidak sebagaimana lazimnya surat pengangkatan yang penuh hormat, surat itu disertai ancaman; siapa yang menolak akan dicambuk seratus kali.

Dari tiga ulama yang dipanggil ke istana, hanya seorang yang bersedia menerima jabatan terhormat itu. Seorang dari mereka menolak lalu memilih hengkang dari negeri itu, seorang lainnya tetap tidak menerima tawaran penguasa tapi juga tak ingin pergi dari wilayah kerajaan. Dia bersedia menerima sanksi atas penolakannya itu.

Apa boleh buat, dia mesti membayar mahal atas sikapnya yang demikian teguh. Dia pun dijebloskan ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman seratus kali dera. Dicambuk setiap pagi dalam keadaan leher dikalungi rantai besi yang berat. Nu’man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisy, atau Imam Hanafi. Dialah ulama yang tak silau jabatan itu.

Akrab dengan penjara

Sejatinya, hukuman seratus kali cambuk bukanlah kali pertama diterima oleh ulama fikih ini. Sebelum peristiwa itu, ia sudah beberapa kali menolak tawaran jabatan dari Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur dan berulang kali pula ia merasakan deraan.

Jauh sebelum peristiwa pencambukan itu menimpa, ia pernah ditawari jabatan yang sama, yaitu sebagai qadhi, tapi ditolaknya. Baginda kesal dengan penolakan itu. Ia tak senang dengan sikap Imam Hanafi yang dinilai berseberangan dengan pemerintah. Kekesalan Khalifah Abu Ja'far berujung pada perasaan curiga. Gerak gerik Imam Hanafi diselidiki dan diancam akan dihukum cambuk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement