Jumat 09 Mar 2012 13:01 WIB

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Tentang Musik dan Tari (6-habis)

Tarian Sufi (ilustrasi)
Foto: erhanozgun.com
Tarian Sufi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian.

Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka.

Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan-perasannya.

Diriwayatkan bahwa seorang murid Syekh Junaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase. Junaid berkata kepadanya, "Jika kau lakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku lagi!"

Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya, pada suatu hari emosinya sedemikian kuat terbangkitkan. Sehingga setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.

Kesimpulannya, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat, menundukkan kepala—sebagaimana dalam shalat—dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah.

Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya. Dan jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.

Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, shalat tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar.

Nabi saw bersabda, "Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya." Oleh karena itu, kita dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan menyakitkan hati mereka.

Memang benar bahwa para sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi SAW masuk, karena mereka tidak menyukai praktik ini, tetapi di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa tidak senang, lebih baik berkompromi dengannya. Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan Allah tahu mana yang paling baik.

sumber : Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement