Rabu 22 Feb 2012 22:30 WIB

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Pengetahuan tentang Akhirat (2)

Pengetahuan tentang akhirat (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Pengetahuan tentang akhirat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu.

Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu.

Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat Alquran, "Hal-hal yang baik itu abadi."

Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah. Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, Alquran berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."

Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman.

Sebagaimana Allah berfirman di dalam Alquran, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah."

Ayat "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa keseimbangan dari bagian-bagian penyusunannya. Dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan oleh obat-obat yang sehat. Demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki—jika dibutuhkan—oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.

Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah.

Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun Alquran. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan Alquran berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."

Tidak satu kata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi SAW diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab, "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."

sumber : Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement