REPUBLIKA.CO.ID,Tahun 1923, usai perang Turki-Yunani 1920-22, banyak orang-orang Roma di Thrace Barat mengidentifikasi diri sebagai orang Turki. Cara ini dilakukan karena Perjanjian Laussane 1923 -- yang mengakhiri perang kedua negara -- mengakui eksistensi minoritas Muslim di Thrace Barat dan menjamin hak-haknya.
Tidak mudah bagi orang-orang Roma melakukan semua itu. Pemerintah Yunani hanya mengakui minoritas Muslim di Thrace adalah etnis Turki, bukan Roma atau lainnya. Akibatnya, upaya orang-orang Roma mengidentifikasi diri mereka sebagai entis Turki gagal total.
Selama sekian puluh tahun mereka menjadi sesosok etnis tanpa negara, tanpa hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dan melakukan kegiatan ritualnya dengan bebas. Di Komotini, sejumlah etnis Roma yang telah berasimilasi dengan etnis Turki gagal memperoleh status kewarganegaraan. Bahkan, pemerintah Yunani berupaya mengeluarkan orang-orang Roma dari komunitas Turki.
Perubahan baru tejadi tahun 1970, ketika pemerintah Yunani mengumumkan Muslim dan Kristen Roma yang orangtuanya lahir di Yunani berhak mendapatkan status kewarganegaraan Yunani. Tapi, tidak banyak dari mereka yang bisa membuktikan bahwa orang tua mereka lahir di Yunani. Tidak heran jika orang-orang Ficira atau Bacora tidak memiliki kartu identitas kewarganegaraan.
Ini pula yang menyebabkan mereka sulit memperoleh jaminan pendidikan, kesehatan, dan perumahan, atau apa pun yang mereka harus dapatkan sebagai warga negara Yunani. Kalau pun mereka memiliki sekeping tanah di pinggir kota, jangan berharap memperoleh izin pembangunan rumah. Mereka juga tidak akan berpikir memperoleh lisensi mengendari mobil sebagai bekal menjadi sopir.
Greek Helsinki Monitor (GHM) dan European Center for Roma Right memiliki laporan menarik mengenai semua ini. Sepanjang tahun 1997, misalnya, sejumlah pemerintahan lokal -- propinsi atau kotamadya -- sepakat mengusir orang-orang Roma dari daerah jurisdiksi mereka. Ancaman ini berlanjut sampai tahun berikutnya. Pertengahan 1998, sebanyak 3500 etnis Roma -- kebanyakan Muslim -- diusir dari Evosmos, dekat Salonica.
Pemerintah Yunani segera bertindak dengan menyediakan tempat bekas di kamp latihan militer untuk menampung mereka. Namun, empat wali kota berupaya mencegah mereka bermukim di situ.
Sekian lama mereka terkatung-katung. Hidup di bawah tenda-tenda tanpa fasilitas apa pun. Pejabat pemeritahan kota yang dekat penampungan sementara mereka selalu mencegah masuknya kontraktor sarana umum. Mereka juga ditolak di tiga tempat lainnya. Sampai akhirnya mereka terdampar di pinggir sungai. Pengusiran juga terjadi di sejumlah kota dan desa-desa, meski mereka telah tinggal 40 sampai 50 tahun lalu.
Semua dilakukan secara sistematis; lewat isu yang mengaitkan setiap peristiwa kejahatan apa pun dengan etnis Roma. Atau, dengan identifikasi-identifikasi buruk lainnya. Laporan juga menyebutkan sangat sedikit jumlah anak-anak Roma yang bersekolah. Sofia Nikolaidou dari GHM mencatat penyebab utamanya adalah rasisme. Banyak anak-anak Roma yang mengikuti pelajaran di sekolah Yunani mengatakan mereka tidak tahan dicemooh dengan kata-kata fuck your Turkey, atau go away, your are turks.
Pada saat pelajaran agama Kristen Orthodox, anak-anak Muslim Roma dilarang keluar. Mereka dipaksa mengikuti pelajaran sampai selesai. Atau mereka harus menghadiri misa pagi sebelum sekolah dimulai. Rasisme juga semakin nyata di beberapa desa lainnya di dekat Thrace Barat. Komunitas non-Muslim lebih suka mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah yang banyak anak-anak Muslim Roma. Akibatnya terjadi eksklusivitas di antara mereka.
Persoalan juga terjadi di sekolah-sekolah yang menampung anak-anak Muslim Roma. Di salah satu desa di dekat Xanthi, misalnya, jumlah anak yang terdaftar 240 orang. Namun, pada saat sekolah dimulai hanya 170 orang saja yang datang. Jumlah ini menyusut menjadi 120 orang saja pada Maret sampai April, karena anak-anak itu harus membantu orang tuanya yang sibuk panen asparagus.
Di sejumlah kota dan desa, banyak komunitas kecil Muslim Roma gagal mengatasi keadaan ini. Laporan GHM menyebutkan beberapa jumlah kecil keluarga Roma mengaku pindah agama untuk mendapatkan kesempatan hidup yang layak. Namun, kata laporan itu, mereka tetaplah Roma yang tidak pernah diakui oleh lingkungan mereka.
Tidak hanya rasisme yang harus mereka hadapi. Intervensi pemerintah terhadap pemilihan mufti -- pemimpin komunitas Islam di satu kota -- kerap kali terjadi. Selain itu, pemerintah juga mengenakan pajak pada tanah-tanah wakaf. Jika sampai beberapa tahun tidak membayar pajak, tanah wakaf akan disita. Intervensi pemilihan mufti menyebabkan terpecahnya komunitas Muslim di dan di luar Thrace Barat. Sedangkan pengenaan pajak terhadap tanah-tanah wakaf mengakibatkan lemahnya kemampuan finansial mereka. Catatan nasib buruk ini mungkin terlalu sedikit dibanding apa yang mereka alami sehari-hari, atau dibanding yang dicatat sejumlah LSM di Eropa.