Jumat 03 Feb 2012 14:36 WIB

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Pengetahuan tentang Diri (3)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut—yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat.

Tujuan disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari karat nafsu dan amarah, sehingga bagaikan cermin yang jernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.

Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan, "Tapi jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan peralihan belaka?"

Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya. Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang.

Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban. Fakultas tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa merenung tentang Tuhan. Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para malaikat.

Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis di dalam Alquran: "Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia." (QS. Al-Jaatsiyah: 13).

Tetapi jika kecenderungan-kecenderungannya yang lebih rendah yang menang, maka setelah kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.

Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu semua, ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengukur jarak antar bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burung-burung dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.

Panca inderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasat-mata. Dalam keadaan tertidur, ketika saluran inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan.

Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul Mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian, setelah mati, pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam hakikat telanjangnya. Dan kata-kata di dalam Alquran pun menyatakan: "Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini penglihatanmu amat tajam."

sumber : Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir, terbitan Mizan.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement