REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Assidiq
Salah satu masalah besar dalam dunia peradilan adalah kesaksian palsu. Praktik tersebut sangatlah dicela, sebab bisa menghalangi keadilan dan menutup pintu kebenaran.
Kesaksian palsu juga dinilai dapat mengakibatkan berbagai bentuk kerusakan di muka bumi. Banyak orang akan kehilangan hak-haknya, serta penganiayaan pada mereka yang tidak berdosa.
Maka itu, undang-undang memberikan ancaman hukum bagi seseorang yang bersaksi palsu. Ini sekaligus membuktikan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan akibat kebohongan tadi.
Dalam ranah keagamaan, larangan bersaksi palsu telah pula ditetapkan. Alquran memberikan penekanan dalam surah al-Hajj ayat 30, ''..dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.''
Islam melaknat praktik tersebut. Bersaksi palsu, menurut Dr Muhammad Ali Hasyimi, merupakan sebuah perbuatan tercela yang akan merugikan orang lain, bahkan dirinya sendiri.
''Kesaksian palsu tidak memberikan keuntungan bagi seorang Muslim, justru dapat membahayakan kredibilitas dan kehormatannya,'' paparnya dalam buku berjudul Hidup Saleh dengan Nilai-nilai Islam.
Oleh karenanya, bagi umat yang beriman, Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi orang yang berkata dusta. Surah al-Furqan ayat 72 menjelaskan, langkah ini terutama untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan dirinya.
Bersaksi palsu tak lepas dari perhatian Rasulullah SAW. Beliau mengelompokkannya sebagai salah satu dari tiga dosa besar, setara dengan dua dosa yang sangat serius, yakni menyekutukan Allah dan durhaka kepada orangtua.
Rasulullah bahkan tak hentinya mengingatkan umat agar menjauhi perbuatan ini. ''Beliau terus mengulangi hal ini sehingga kami berharap bahwa beliau berhenti (yakni tidak mengurangi semangat beliau.'' (Muttafaq'alaih)
Berulang-ulangnya peringatan Nabi SAW tadi, ditengarai oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid pada kitab //Muharramat Istahana Bihan Naas//, lantaran banyak orang yang kerap meremehkannya.
Termasuk menganggap enteng masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang di pengadilan dengan mengatakan kepada seseorang yang ia temui, ''Jadilah saksi untukku, nanti aku akan menjadi saksi untukmu.''
Kesaksian palsu, didefinisikan Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya. Banyak faktor penyebabnya, semisal karena permusuhan, dengki, dan sebagainya.
Tanggung jawab
Inilah kedustaan yang nyata. Seharusnya, sambung dia, semua bentuk kesaksian itu berpegang pada firman Allah, ''Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.'' (QS Yusuf [12] : 81)
Saleh al-Fauzan dalam buku Fikih Sehari-hari, mendukung pernyataan tersebut. Dia berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui.
Lebih jauh dikatakan, pentingnya memberikan keterangan secara benar karena Islam menetapkan hukum fardhu kifayah terhadap seseorang sebagai saksi. ''Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.'' (QS al Baqarah [2] : 282).
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.
''Sebuah persaksian ibarat akad atau perjanjian, dan ini hukumnya wajib, sebagaimana amar ma'ruf nahi munkar,'' urainya.
Pendapat itu diperkuat oleh Imam Ibnul Qayyim, dengan menambahkan bahwa jika seorang saksi menyembunyikan persaksiannya untuk menegakkan kebenaran, maka ia bertanggung jawab atas hal itu.
Meski demikian, bersaksi hanya diwajibkan jika hal itu tidak menimbulkan bahaya baginya. Rasulullah bersabda, ''Tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain.''
Untuk mengeliminir timbulnya kesaksian palsu, para ulama telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang saksi. Di antaranya berakal sehat, beragama Islam, dapat menghafal atau mengingat kejadian dengan baik, serta memiliki sifat adil.