Selasa 27 Sep 2011 20:23 WIB

PBNU: Jangan Hanya Pornografi, Tutup Situs Penyebar Radikalisme!

Aksi radikalisme (ilustrasi)
Foto: indianmuslimobserver.com
Aksi radikalisme (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah menutup situs-situs yang menyebarkan faham radikalisme agar tidak menyuburkan pertumbuhan terorisme.

"Jangan hanya situs porno yang diblokir, situs yang mendorong terjadinya sikap radikal, fundamentalisme juga harus ditutup. Bahayanya sama," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Selasa (27/9).

Menurut dia, aksi terorisme yang tidak kunjung habis, terutama yang berdimensi ideologi, salah satunya disebabkan bebasnya penyebaran ajaran yang radikal.

Ia mengatakan penyebaran ajaran agama radikal yang meluas bisa mengakibatkan masyarakat awam merasa tidak ada yang salah dengan aksi teror yang berlabel "jihad". Yang membahayakan, imbuhnya, aksi itu justru lebih menguatkan keyakinan orang yang sebelumnya memiliki pemahaman keagamaan kaku.

"Kalau sudah radikal secara ideologi maka tinggal selangkah lagi untuk melakukan tindakan radikal," kata Said Aqil.

Kalau mau jujur, kata Said Aqil, kebebasan di era reformasi telah dimanfaatkan secara optimal oleh kelompok radikal, terutama untuk menyebarkan faham yang mereka yakini.

Karena itu, lanjutnya, penting bagi kelompok moderat untuk semakin menggencarkan upaya memberikan pencerahan tentang Islam yang "rahmatan lil alamin", Islam damai.

"Kalau bagi yang sudah militan memang sulit, tapi langkah ini sebagai antisipasi bagi yang belum terkena doktrin," kata Said Aqil.

Sementara dari sisi negara, PBNU mendukung adanya undang-undang antiterorisme yang lebih tajam, yang lebih mampu mengantisipasi terjadinya aksi terorisme.

UU itu, kata Said Aqil, harus memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap orang yang disinyalir memiliki kaitan dengan terorisme.

Said Aqil yakin polisi sudah mengetahui orang atau kelompok yang terkait terorisme, namun tidak bisa berbuat banyak karena mereka belum melakukan aksi teror.

"Undang-undang yang ada kurang tajam, aparat keamanan menjadi ragu-ragu bertindak, takut dianggap melanggar HAM. Akibatnya menunggu bom meledak dahulu baru bertindak," kata Said Aqil.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement