Selasa 16 Aug 2011 22:06 WIB

Fanoos, Lentera Mesir, Simbol Ramadhan yang Terancam Punah

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Pedagang fanoos di pasar Mesir menjelang Ramadhan
Foto: seatlepi.com
Pedagang fanoos di pasar Mesir menjelang Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Sebuah sudut gang sempit, di kawasan ibukota Kairo, ada seorang bernama Nasser Mustafa. Ia bersusah payah membuat potongan-potongan logam guna membentuk lentera tradisional Mesir, Fanoos.  Bagi warga Mesir, Fanoos, merupakan simbol Ramadhan yang bermakna petunjuk pada setiap Muslim menuju keridhaan  Tuhan.

Dari bentuknya, fanoos menyerupai pohon natal, yang menjadi simbol spiritual bagi pemeluk Nasrani. Peletakannya pun nyaris sama dengan pohon Natal yakni balkon atau dekat meja makan. Menurut kepercayaan masyarakat Mesir,  peletakan Fanoos dekat meja makan menciptakan suasana kehangatan dan kebersamaan.

Sejarah fanoos di Mesir dimulai saat dinasti Fatimiyah, berkuasa di abad ke-10. Namun naas, Dalam satu abad terakhir, Fanoos tengah menghadapi ancaman. Kehadiran lentera buatan China yang dibarengi ketidakbecusan pemerintah Mesir dalam melindungi pedagang lokal menjadi petaka. Kondisi kian diperparah, saat keluarga Mesir tidak lagi meneruskan tradisi yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.

“Orang tua kami telah menurunkan tradisi ini, tapi tidak dengan keturunannya,” kata Ridha Ashour, salah seorang perajin Fanoos, seperti dikutip Alarabiya, Selasa (16/8).

Ancaman itu kian nyata saat salah satu jalan tertua di Kairo tidak lagi menjadi surga bagi seniman fanoos. Mereka enggan membuat Fanoos, lantaran harga bahan baku tidak lagi terjangkau. Sekalipun mereka lanjutkan, mereka harus bersaing dengan lentera buatan China yang jauh lebih murah.

Ashour mengatakan, untuk proses awal seperti pemanas logam dan pengelasan untuk Fanoos berukuran kecil membutuhkan biaya 10 pound Mesir ($ 1,60). Sementara biaya yang dibutuhkan untuk membuat Fanoos berukuran besar mencapai 10.000 pound Mesir ($ 1.600).

"Semua yang kita gunakan untuk membuat fanoos  harus diimpor mulai dari A sampai Z," kata Mohammed Fawzi, 27, yang bekerja di ruang garasi kecil bersama dua saudara dan ayahnya.Ia mengatakan, 13 tahun lalu  mereka mampu memproduksi sekitar sepertiga lentera yang dijual di pasaran. Namun, jumlah tersebut berkurang drastis semenjak lentera Cina membanjiri pasar Fanoos.

Direktur Eksekutif Kamar Dagang Mesir-Cina, Omaima Mabrouk mengatakan impor Mesir dari China mencapai $ 6 miliar. Sebaliknya, nilai ekspor Mesir ke Cina hanya menembus angka $ 1 miliar. Untuk itu, Mabrouk menilai pemerintah Mesir perlu melindungi pasar lokal dengan memperbaiki hak-hak pekerja dan manajemen dalam sektor publik dan swasta.

“Pemerintah membuat masyarakah kehilangan besar,” kata Mabrouk. Menurutnya, pemerintahan mantan Presiden Hosni Mubarak merupakan biang keladi ketidakmampuan pengrajin Fanoos. "Polisi setempat akan datang dan mengambil barang-barang kami dan membuangnya jika  kita tidak memberi mereka suap," timpal Ashour.

Harapan perbaikan nasib Fanoos mengemuka kembali, selepas Presiden Hosni Mubarak jatuh. Namun, tidak sedikit kalangan seniman yang meragukan, pemerintahan baru Mesir akan memperbaiki nasib mereka.

Namun ada pula mereka yang bertahan. Salma Jazayerli, perempuan asal Suriah yang lama tinggal di Mesir, adalah salah satu perajin Fanoos yang tidak terpengaruh dengan krisis. Ia terbilang berhasil mempertahankan bisnisnya hingga kini. Bahkan Fanoos buatan Salma menjadi primadona supermarket kelas atas di Kairo.

"Sulit untuk memiliki Ramadhan tanpa Fanoos," kata Jazayerli. Ia mengatakan solusi krisis yang dialami pengrajin Fanoos adalah menghentikan impor dari Cina,

Nada tidak sependapat disampaikan pedagang Fanoos, Ahmed Leeba. Ia mengatakan untuk kualitas, lentera buatan Cina lebih. "Lentera-lentera Cina seperti mainan," kata Leeba.

Leeba mengaku lentera Ramadhan dari Cina cukup digandrungi warga Mesir. Selama Ramadhan, ia mengaku juga menjual hingga 500 lentera buatan lokal. Namun lentera buatan Cina justru laku lebih banyak, yakni mencapai 2.000 buah.

“Jujur, lentera Cina merusak pasar Mesir,” pungkas dia, Agung Sasongko

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement