Jumat 05 Aug 2011 05:04 WIB

Ideologi Dibalik Breivik (III): Apakah ia Psikopat?

Anders Behring Breivik
Anders Behring Breivik

REPUBLIKA.CO.ID, Breivik dilaporkan tersenyum ketika menembaki anak-anak di Pulau Utoya. "Ini adalah tawa tipe pembunuh," ujar sosiolog Jerman, Klaus Theweleit, yang terkenal di akhir 1970-an lewat dua volume karyanya, "Male Fantasies" (Fantasi Lelaki) sebuah intepretasi psikologis mengenai fasisme.

"Ada orang-orang yang menikmati permainan pembunuhan, yang melihat dirinya sebagai bagian dari kekuatan lebih tinggi sebagai alasan melakukan itu semua. Mereka tertawa ketika merayakan kejahatan hukuman, aksi mereka yang mirip Tuhan."

Dalam Male Fantasies, Theweleit menganalisa tulisan grup paramiliter di era Weimar yang penuh kekerasan, dikenal Freikorps. Ia mengidentikan ada kesamaan cukup signifikan dalam penggambaran korps tersebut terhadap wanita dan kebenciannya terhadap lawan jenis.

Pola intepretasi Theweleit kini diterapkan pula pada Breivik dangan ketepatan yang mencengangkan. Breivik, kata Theweleit, mengingatkannya pada sosok-sosok SS yang fasis.

Bagi Theweleit, jarak emosi yang ditemukan pada Breivik memiliki kedekatan dengan para pembunuh fasis. Ia tidak memiliki pacar dan menurut manifestonya, ia hanya melakukan hubungan seksual sekali dalam misinya. Ia mengklaim tidur dengan dua wanita di Praha.

Bila tidak, ia akan menekankan bahwa seks hanyalah satu satu untuk waktu lain--seperti yang ia rencanakan: Ia ingin menyewa PSK model tingkat atas, secara esensi untuk aksi terakhir sebelum melakukan niat membunuh. Dalam pandangannya wanita adalah seorang suci atau pendosa.

Sementara feminisme, yang ia pandang sebagai pelopor 'budaya Marxisme' adalah ancaman besar. Ia mendambakan kembali berlakunya hukuman fisik dan sistem patriarki.

Selalu menyalahkan orang lain.

Breivik tidak membutuhkan militer untuk membentuk figur tubuhnya yang sempurna. Ketika ia merakit bom, ia menyelesaikan program latihan fisik kerasan dan mengonsumsi stereoid anabolik. Akhirnya, saat tak mampu membuat ikatan dengan orang lain, ia menggunakan kekerasan sebagai bukti kekuatan dan superioritasnya.

"Breivik pastilah orang yang narsis," ujar psikologis klinik, Sven Torgersen. Bahkan ia meyakini narsisisme Breivik adalah unik dan tak ada sebelumnya dalam sejarah kriminal.

Menurut Torgersern, serangkaian foto Breivik menggunakan banyak kostume mengungkat bahwa ia sangat peduli betul dengan penampilan, tipe khas seorang narsis. Seorang narsis akan mengeluarkan reaksi frustasi dengan menyalahkan pada sesuatu dalam lingkungannya, tapi tak pernah terhadap dirinya.

Tipe narsis patologis ditandai dengan perasaan bahwa dirinya mentereng dan cemerlang sekaligus dengan harga diri yang rapuh. Menurut Togersen, Breivik menggambarkan profil klasis kepribadian patologis yakni emosional dingin dan ketidak mampuan menjalin hubungan.

Upaya mendirikan bisnis yang dia besar-besar dengan tutur kata lincah dan mengalir sebagai kesuksesan, faktanya adalah kegagalan menyedihkan. Ia mengalami kebangkrutan pada da 2002, dan pada 2008, perusahaan lain miliknya, E-Commerce Group, berpindah tangan. Si pengarang manifesto mungkin melihat kegagalan itu sebagai penghinaan besar. Menurut Togersen, Breivik juga diidentikan dengan bentuk ekstrem sadisme yang menemukan kenikmatan dalam penderitaan orang lain.

Torgersen meyakini bahwa Breivik sakit secara mental, namun tak begitu parah hingga menghalangi kehidupan sehari-harinya. Dua psikiater di pengadilan kini mengumpulkan para opini pakar dan memeriksa statusnya. "Ia memiliki konsep kenyaataan yang tidak dimiliki orang lain--tak seorangpun, di mana pun--ujar pengacara hukum Breivik. Ia mengatakna itu adalah bukti dari segala bentuk pertanyaan yang ia ajukan dan cara ia berbicara mengenai topik-topik tertentu.

Apakah ia gila?

Kejahatannya, ujar Lippestead, adalah menyatakan perang terhadap demokrasi. Ketika Breivik bercakap-cakap dengan kuasa hukumnya, ia berpicara pelan dan lirih serta hampir santai. Ia kata Lippestead, memiliki tutur kata bagus dan lancar meski ia tidak berpendidikan tinggi atau canggih.

Dalam salah satu pertemua mereka, Breivik berkata pada Lippestead bahwa Inggris adalah bahasa kerjanya, namun ia dapat berbahasa Norwegia bila kuasa hukumnya menghendaki. Lippestead meyakini ia tak melancarkan perang dengan dunia Muslim namun terhadap Barat dan kemerosotan moralnya. "Ia menyatakan perang dengan demokrasi," kata Lippestead.

Breivik tak mengenali sidang atau sistem hukum yang memerintahkan ia ditahan. Ia mengakui kejahatannya namun bersikeras ia tak salah. Mengacu pada penggambaran dirinya sendiri dalam manifestonya, ia seharusnya membebaskan kuasa hukumnya dari tugasnya. Dalam dokumen ia memprediksi orang akan 'mnelabelimu sebagai gila,", maka ia mendesak para pembacanya tidak untuk meyakini ajakan itu.

Dia kini tengah dikaji, dan pengadilan hanya akan mencapai dua kesimpulan. Namun terlepas apakah ada tingkatan lebih tinggi yang memberinya tugas, faktanya, manifesto setebal 1.500 halaman itu ada. Yang pasti ia tak didiktekan ke Brussel oleh setan. (bersambung)

sumber : s
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement