Jumat 22 Jul 2011 18:43 WIB

Musala di Mal tak Hanya Soal Akhirat, tapi Berlomba Melawan Sekulerisasi

Musala di Mal - ilustrasi
Musala di Mal - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Syafiq Basri Assegaff, menilai ramainya orang shalat di mal dan perkantoran bukan saja menunjukkan makin pesatnya pertumbuhan populasi orang Islam. Melainkan juga seakan-akan mereka hendak memenangkan 'perlombaan' melawan modernisasi, yang sering disamakan dengan 'sekulerisasi'.

"Pengelola fasilitas umum itu tidak bisa lagi menganggap bahwa sarana ibadah adalah 'urusan akhirat' semata, kuno dan tidak modern," kata Syafiq, di Jakarta, Jumat (22/7).

Menurut Syafiq, modernisasi sering dianggap sebagai penyebab mundurnya pengaruh agama, keterasingan dari masyarakat, dan tergerusnya iman dan perilaku keagamaan oleh suasana 'sekular'. "Oleh karena itu, pengelola fasilitas umum mesti membantu pembuktian bahwa 'kemoderenan' yang mereka sediakan bagi konsumen tidak bermaksud menjauhkan mereka dari agama," tambah Syafiq.

Dengan menyediakan musala yang keren, pengelola fasilitas umum bukan saja membantu terlaksananya amar maruf dan nahi munkar. Mereka, lanjut dia, sekaligus melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat, yang sangat dianjurkan pakar komunikasi bisnis di dunia belakangan ini.

Hal itu, tambah Syafiq, telah menjadi pedoman bagi perusahaan yang ingin maju, sebagai bukti bahwa perusahaan telah mendengarkan apa yang diinginkan konsumennya. "Bila pengusaha tidak mendengarkan konsumen, jangan salahkan bila pasar beralih kepada pesaing, misalnya pergi berbelanja ke negeri tetangga yang saat ini biaya tiketnya relatif murah," tambah dosen komunikasi Paramadina itu lagi.(T.M016)

Sseperti diketahui, masih banyak fasilitas umum seperti hotel, rumah sakit dan restoran di Jakarta, yang belum memikirkan musala sebagai aspek penting dalam menjaring pelanggan dan menganggap penyediaan musala sebagai 'pemborosan' bagi manajemen. "Hasil penelitian marketing etnografi menunjukkan hal tersebut," kata ahli etnografi Amalia E. Maulana Ph.D, kepada ANTARA di Jakarta, Jumat (22/7).

Berbeda dengan fasum premium seperti rumah sakit, hotel dan restoran, pusat perbelanjaan seperti mall yang dibangun dalam kurun waktu lima tahun terakhir tergolong paling serius memikirkan kehadiran musala. "Rupanya pengelola mal sudah menyadari benar bahwa pembangunan musala merupakan sebuah 'keharusan' yang mesti direncanakan sejak awal," kata Amalia.

Menurut dia, penelitian marketing dengan pendekatan etnografi dilakukan melalui peninjauan langsung terhadap konsumen di lokasi (tempat) mereka berinteraksi, sehingga mampu memberikan gambaran yang paling mendekati kebenaran atas obyek yang ditelitinya, khususnya bila ia menyangkut perilaku konsumen dalam kehidupan sehari-hari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement