REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Klaim keberhasilan AS membunuh pemimpin Alqaidah banyak mendapat sorotan dunia kecuali Cina. Negeri tirai bambu seolah alias adem ayem melihat keberhasilan negeri Paman Sam. Nyaris tidak ada ekspresi simpati atau bahkan kecaman dari pemerintah Cina soal kematian Usamah Bin Laden.
Kendati demikian, tindak-tanduk AS melawan terorisme di seluruh penjuru dunia menciptakan situasi sulit Muslim Uighur, yang banyak mendiami provinsi Xinjiang, Cina bagian barat. Dalam memberantas terorisme, AS juga melibatkan Cina meski kedua negara tidak menghadapi masalah serupa.
Kondisi tidak menguntungkan Muslim Uighur itu segera menghantarkan mereka berakhir di penjara Guantanamo. Mereka, para Muslim Uighur, diklaim AS banyak tertangkap basah mengikuti pelatihan di Afganistan. Belum lagi, pembatasan ekstra ketat yang dilakukan pemerintah Cina dalam mengawasi aktivitas Muslim uighur.
Kebijakan pemerintah Cina pernah memicu kerusuhan mematikan yang terjadi tahun 2009, ketika gesekan antara suku Uighur dan Han tak bisa terelakkan dan menjadi aksi saling bunuh.
Kepala Proyek Hak Asasi Manusia Etnis Uighur, Henry K Szadiewski mengatakan beban utama pemerintah Cina yakni meyakinkan masyarakat internasional bahwa mereka menghadapi ancaman ekstremisme."Setiap bukti yang disajikan meyakinkan. Tapi berubah menjadi tidak menyakinkan lantaran tidak pernah diperiksa secara terbuka oleh lembaga independen yang berasal dari dalam maupun luar Cina," papar dia seperti dikutip dari Globalpost, Senin (6/6).
Rumit dan Berbelit
Hubungan pemerintah China dengan Muslim Uighur tidak pernah harmonis semenjak didirikannya Republik Rakyat China yang berhaluan komunis. Muslim Uighur yang berpopulasi 22 juta jiwa acapkali dipinggirkan oleh pemerintah China. Kondisi yang nyaris serupa dialami warga Tibet.
Pemerintah China beranggapan Muslim Uighur serupa dengan kelompok radikal yang berada dibelahan dunia lain. Padahal, Muslim Uighur tidak pernah tertarik dengan isu fundamentalis seperti yang dituduhkan pemerintah China. Namun hingga kini belum ada niat tulus pemerintah China untuk menyelesaikannya.
Para ahli mengatakan persoalan hubungan kurang harmonis pemerintah China dan Muslim Uighur berasal dari ketidakpahaman pemerintah China terhadap Islam dan agama lain. "Saya rasa ada jurang besar ketidaktahuan Islam di Cina dan di antara orang-orang Cina," kata Dru Gladney, ahli China dan Uighur dari Pomona College.
Gladney mengatakan Muslim Hui, komuitas Muslim terbesar yang berdiam di China, nyatanya jauh lebih rentan terlibat dalam gerakan fundamentalis selama bertahun-tahun. Namun, pemerintah China justru melihat Muslim Uighur sebagai pusat fundamentalis di China.
"Bahkan selama masa kerusuhan, Uighur tidak menyerukan perang melawan China," kata dia yang juga melihat Muslim Uighur lebih fokus pada isu keadilan sosial dan tenaga kerja ketimbang fundamentalisme.
Pandangan Profesor Li Wei dari Institut Cina Kontemporer Hubungan Internasional bisa jadi cukup pas penggambarkan situasi saat ini. Ia menilai pemerintah Cina cenderung melihat definisi ekstrimis sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Otomatis, ekstremis merupakan ancaman nyata yang setara dengan separatisme.