REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Alquran dan Terjemahnya yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag) bukan pemicu aksi terorisme. Melainkan, faktor penyebabnya adalah pehaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaan. Penegasan ini disampaikan oleh Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag, Abdul Djamil. “Asumsi itu kurang tepat,”kata dia.
Ia menjelaskan di Jakarta, Senin (2/5), terjemah itu disusun secara cermat oleh pakar-pakar yang berkompeten di bidangnya. Pertama kali terbit 1965, terlibat dalam penyusunannya sejumlah tokoh antarlain Hasbi Ash-Shiddiqi, Anwar Musaddad, Ali Maksum, dan Bustami Abdul Ghani. Pada 1989, secara redaksional, terjemah itu disempurnakan oleh Tim yang terdiri antara lain Satria Effendi Zain, M Quraish Shihab. Terjemah di sempurnakan ulang secara menyeluruh pada 1998-2002. Turut tergabung dalam tim tersebut diantaranya Ahsin Sakho Muhammad dan Ali Musthafa Ya’qub.
Menurutnya, bila benar asumsi itu benar maka jumlah teroris akan lebih banyak. Ini karena mayoritas penduduk di Indonesia menggunakan terjemah itu. Tetapi faktanya, para teroris adalah minoritas, bahkan bisa dihitung jari. Pada umumnya, mereka anti pemerintah termasuk anti terjamah Alquran yang diterbitkan oleh pemerintah.
Kepala Bidang Pengkajian AlQuran Puslitbang Kemenag, Muchlis M Hanafi menyangkal bahwa terjemah itu disusun murni secara tekstual harfiah. Terjemah yang disusun tersebut menggabungkan metode terjemah dan kontekstual tafsiriyah sekaligus. Penerjamahan tafsiriyah dilakukan dengan memberikan catatan kaki. Jumlah catatan kaki itu pada terjemah versi lama ada 1610 catatan. Sedangkan dalam edisi revisi terbaru terdapat 930 catatan. Metode serupa digunakan oleh para tokoh tafsir antara lain M Quraish Shihab dalam Alquran dan Maknanya.
Ia mengatakan perbedaan yang terdapat dalam terjemah Alquran versi Kemenag dan Tarjamah Tafsiriyah versi MM disebabkan karena perbedaan cara pandang. Perbedaan bersifat variatif dan bukan kontradiktif. Bahkan bisa saling melengkapi. Karenanya, terkait permintaan debat publik dan uji akurasi di hadapan publik oleh MM, pihaknya menilai bukan solusi terbaik. Alternatifnya, ia meminta MM segera menerbitkan terjemah tafsiriyah versi MM. Dengan demikian, masyarakat bisa membandingkan nilai dari terjamah itu nantinya. “Publik yang akan menilai,”kata dia.
Wakil Ketua lajnah Tashih Mushaf Al Qura, Ali Musthafa Ya’qub mengkhawatirkan asumsi itu bisa mengarahkan pada pendeskritan Alquran. Ini lantaran terjamah akan diasumsikan sebagai perwujudan dari Alquran secara keseluruhan. “Saya khawatir akan dibaca Alquran pemicu terorisme,”kata dia.
Ia menegaskan munculnya aksi terorisme berdalih Alquran bukan disebabkan oleh terjemah Alquran. Melainkan akibat nihilnya pemahaman Alquran. Alquran tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh. Berbagai piranti penting menafsirkan Alquran seperti penguasaan bahasa Arab, ilmu tafsir, dan alat berijtihad lainnya, kerap diabaikan. Akibatnya, ayat-ayat Alquran dipahami tidak utuh dan disesuaikan dengan maksud dan tujuan mereka. “Alquran difahami sepotong-potong,”kata dia.
Contoh pemahaman salah, jelas dia, yaitu penafsiran ayat 191 surah Albaqarah. Jika dibaca sepintas, ayat tersebut secara tekstual memerintahkan membunuh orang kafir dimanapun berada. Tetapi, konteks ayat tersebut tak bisa dipisahkan dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 190. Dalam ayat itu ditegaskan larangan membunuh secara berlebihan dan membabibuta. “Kedua ayat ini tak boleh dipisah,”kata dia.