Selasa 05 Sep 2017 04:33 WIB

Xenophobia Rakhine dan Burma

Sejumlah warga Rohingya beraktivitas di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9).
Foto: PKPU
Anak-anak Rohingya di depan kamp-kamp pengungsian di Rakhine

Abid Bahar, dalam Burmese invasion of Arakan and the rise of non Bengali settlements in Bangladesh, menulis sampai abad ke-11, Arakan adalah negara yang selalu bergolak, dan kerap direpotkan oleh konflik antar kelompok.

Ketika muncul pemimpin yang kuat dan dapat mempersatukan semua, Arakan menjadi ancaman bagi negara-negara di sekelilingnya. Arakan juga negara yang sangat ketergantungan dari perdagangan budak, sehingga harus selalu memerangi suku-suku di sekelilingnya, agar mendapatkan budak.

Memasuki abad ke-11, Burma tumbuh menjadi kerajaan yang kuat. Untuk meredam ketegangan di dalam negeri, Burma melakukan ekspansi, dan mecaplok negaran-negara di sekelilingnya. Arakan tak luput dari serbuan Burma.

Invasi pertama dilakukan  1044. Anawrahta, setelah membunuh saudaranya dan mengklaim naik takhta di Burma Utara, menyerang Arakan dan Mon. Ia adalah pemeluk Budha yang taat, tapi juga rajak paling kejam dalam sejarah Burma.

Anawrahta tercatat sebagai raja yang memberi dimensi rasial bagi agama Budhisme. Ia mengubah wajah Budha Theravada yang penuh cinta kasih menjadi agama yang sarat kekerasan. Ia juga memperkenalkan politik xenophobic pertama di Burma. Ia berusaha menghalau Indianisasi di Arakan, dan mendorong masuknya penduduk Tibeto Burman.

Akibatnya, Chakmas – ras mongoloid tapi berbicara dalam Bahasa Chandra-Chittagonian, merasa terancam dan meninggalkan Arakan menuju selata Chittagong.Mereka kembali ke Arakan tahun 1077, atau setelah cengkeraman Burma atas Arakan berakhir.

Invasi Burma kedua terjadi 1406. King Min Khaung Yaza, raja Burma saat itu, memimpin invasi ini. Noromi-kala, raja Arakan saat itu, melarikan diri ke Gaur bersama sebagian besar pengikutnya. Gaur saat itu diperintah Sultan Gaisuddin Azam Shah. Tidak ingin diperbudak orang Burma, penduduk Arakan memilih melarikan diri ke Bengal, mengikuti sang raja.

Tahun 1430, Sultan Jalal uddin Khan – penguasa Bengal  saat itu – mengirim Wali Khan ke Arakan dengan tugas mempersiapkan kepulangan Noromi Kla, yang berganti nama menjadi Sulauman Shah untuk kembali bertakhta. Sulauman memindahkan ibu kota Arakan ke Mrohaung.

Namun Sulauman hanya setahun berkuasa. Tahun 1431, Wali Khan mendepak Sulauman, dan menjadikan dirinya raja di Arakan.  Ia memperkenalkan Bahasa Persia sebagai bahasa resmi. Noromi-kla, atau Sulauman Shah, kembali ke Bengal untuk meminta bantuan kepada Sultan Bengal.

Dua tahun kemudian Nadir Khan, sultan Bengal saat itu, mengirim Jenderal Sindhi Khan dan 30 ribu pasukan untuk menghukum Wali Khan, serta mengembalihkan takhta ke Sulauman Shah. Sebagai imbalannya, Sulauman Shah memberikan wilayah selatan Chittagong, dan membayar pajak tahunan ke Sultan Bengal.

Sejak saat itu, dan sampai paruh pertma abad ke-18, Arakan relatif terlindung dari kemungkinan serangan Burma. Arakan dihuni dua etnis yang relatif seimbang; Rohingya dan Rakhine. Keduanya bersatu karena memiliki musuh bersama, yaitu Burma.

Situasi politik berubah setelah memasuki paruh kedua abad ke-18. Pengaruh Kesultanan Bengal menurun. Burma kembali bangkit sebagai kerajaan yang kuat. Tahun 1784, Raja Budapawa menyerbu Arakan dengan 30 ribu pasukan, dan kembali dengan 20 ribu tawanan.

Inilah pembersihan etnis pertama terhadap Muslim Rohingya dan Rakhine Budha yang dilakukan Burma di Arakan. Mereka membantai semua penduduk Hindu dan Muslim Arakan. Pemeluk Budha relatif tidak tersentuh. Namun  Raja Budapawa merampas patung Budha Mohamuni yang terbuat dari emas, dan dibawa ke Burma.

Dari 20 ribu tawanan yang dibawa Budapawa, 3,700 diantarnya Muslim Rohingya. Mereka dimukimkan di Mandalay, dan beberapa menjadi menteri kerajaan Burma. Sedangkan raja Arakan tidak lagi meminta perlindungan ke Bengal, karena saat itu Inggris telah menjajah India dan seluruh kesultanan Bengal. Ia tidak pernah kembali ke Arakan, karena Burma terus melancarkan aksi pembersihan. Akibatnya, populasi non-Bengal di Chittagong menjadi tinggi, karena Inggris memberi merek tempat.

Burma meminta Inggris memulangkan seluruh orang Arakan; Muslim, Hindu, dan Budha, kembali ke Arakan. Inggris menolak. Perang Inggris-Burma tak terhindarkan. Unggul persenjataan, Inggris dengan mudah menguasai Arakan tahun 1824 . Saat itu, sebagai akibat pambantaian terus-menerus, Arakan nyaris kosong penduduk.

Inggris membawa kembali Arakan; Muslim, Hindu, dan Budha, kembali ke Arakan. Aye Chan, seorang Rakhine Budha yang kembali ke Arakan, mulai menyebarkan kebencian terhadap Muslim di kalangan orang Rakhine. Menurutnya, jika Inggris hanya membawa Muslim Rohingya dan Rakhine Budha -- keduanya mengungsi di selatan Chittagong – itu normal. Namun Inggris juga membawa Chittagonian Mulsim Bengal, dan memenuhi tanah pertanian di Arakan.

Kebencian Rakhine Budha terhadap Muslim pun dimulai, dan terus membesar. Puncaknya terjadi tahun 1942. Inggris angkat kaki dari Arakan, dan Jepang datang. Rakhine Budha memanfaatkan keadaan ini untuk menyerang Muslim Rohingya. Pembantaian tak terhindarkan. Lebih 100 ribu tewas dalam peristiwa itu.

Rakhine melupakan sejarah bahwa mereka pernah senasib dengan Muslim Rohingya, ketika menjadi korban pembantaian Burma. Mereka tertular visus xenophobic  Burma, dan menjadi penghancuran semua bukti arkeologis tentang persaudaraan mereka dengan Muslim Rohingya.

*Mantan wartawan Republika.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement