REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Aku khawatir pada diriku,"kata Rasulullah.
Tidak perlu engkau khawatir. Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sesungguhnya, engkau orang yang menjaga tali silaturahim, senantiasa mengemban amanah, selalu menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu, jawab Khadijah menenangkan suaminya.
Ketika kondisi Rasulullah sudah benar-benar tenang, Khadijah mengajak suaminya itu menemui Waraqah bin Naufal. Secara nasab, Waraqah merupakan sepupu Khadijah. Pria ini memeluk agama Nasrani. Dia juga telah menulis Injil dengan bahasa Ibrani.
Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat? tanya Waraqah kepada Muhammad. Rasulullah menceritakan sebagaimana adanya tentang apa yang telah dialami di Gua Hira.
Setelah menyimak dengan saksama penuturan Muhammad, Waraqah berkata. Ini adalah malaikat yang telah Allah turunkan kepada Nabi Musa. Andaikan aku dapat bertahan, aku berharap masih hidup ketika kaummu mengusirmu.
Mengapa mereka akan mengusirku? tanya Rasulullah.
Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu, sebagaimana yang kau emban ini, kecuali dimusuhi kaumnya sendiri. Jika aku masih hidup sampai pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh, jawab Waraqah. Pada akhirnya, ia memang keburu meninggal dunia sebelum Allah menyuruh Nabi berdakwah secara terang-terangan.
Beberapa waktu kemudian, turun wahyu Allah yang memerintahkan agar dakwah dilakukan secara terang-terangan. Betapa berat ancaman dan tudingan kaum musyrik terhadap Nabi. Namun, Rasulullah tidak menghiraukan hasutan kaum musyrik.
Sebab, di sampingnya ada istrinya yang atas izin Allah dengan setia mendampingi dan memperkuat aktivitas dakwah. Khadijah tidak pernah mendebat suaminya itu, baik sebelum maupun setelah turunnya risalah kenabian. Berkat cinta Khadijah, Rasulullah merasa lapang dada, betapa pun keras cobaan datang silih berganti.