Jumat 14 Dec 2018 11:22 WIB

Jejak Stereotip Islam Radikal dalam Lukisan

Jejak sebutan pejoratif terhadap Islam terjejak dari penjajahan hingga lukisan.

Lukisan Fanatics of Tangier karya Delacroix di abad awal abad 19.
Foto: Abdul Hadi WM
Lukisan Fanatics of Tangier karya Delacroix di abad awal abad 19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satrawan dan Guru besar falsafah kebudayaan Islam Univeristas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengatakan jejak sikap merendahkan (pejoratif) dengan menganggap bahwa Islam dengan sebutan sebagai ajaran radikal, fundamentalis, tak toleran memang sudah terjejak dalam peradaban yang kini dikuasai oleh barat. Bentuk ekspresi mereka atas tuduhan itu bermacan-macam, mulai dari politik dan penjajahan yang sangat rumit hingga soal lukisan yang terkesan sederhana saja.

Salah satu jejak itu ada ada berbagai lukisan Delacroix. Dia adalah pelukis Prancis awal abad ke-19 yang sering mengikuti ekspedisi Napoleon ke Afrika Utara. Dalam perjalanan itu, Delacorix membuat banyak lukisan tentang apa yang dialaminya di Afrika Utara. Karya-karya lukisannya pun melegenda dan mendunia.

Salah satunya lukisan yang diberi judul "Fanatics of Tangier" menggambarkan fanatisme orang Islam karena selalu melawan kedatangan ekspedisi militer Napoleon. Gambaran streotipe ini terus berlanjut hingga kini, hanya berganti sebutan: dari kata fanatik ke kata lain seperti ekstrim, radikal, teroris dan sebutan berbagai pejoratif lainnya.

Nah, jika Delacroix masih hidup sampai sekarang, tentu dia akan melihat betapa pula bringasnya orang Prancis. Orang Eropa dan bangsa lain pun sebenarnya tak kalah fanatik, jika rasa keagamaan atau nasionalisme mereka terganggu,’’ kata Abdul Hadi WM, Jumat (14/12).

Dengan cara melukis seperti ini, lanjut Abdul Hadi, Delacroix ingin menyembunyikan kekejaman Napoleon alias penguasa Barat terhadap kaum Muslimin. Dan sekarang, berapa banyak penguasa bekas negara jajahan Eropa sadar akan politik 'pemberitaan' seperti ini.

“Inilah apa yang bisa disebut adanya fakta dibalik. Yang kejam disebut lembut, yang melawan terhadap kekejaman dipandang rasis, ekstrim dan radikal. Semua harus belajar pada kasazanah sejarah dunia ini,’’ tegasnya.

Seperti diketahui, suasana Islamphobia memang terasa kuat di Eropa. Kepolisian Jerman misalnya telah merilis angka kejahatan berlatar kebencian terhadap Muslim yang terjadi antara Januari dan September tahun ini. Dari angka yang dirilis pada Kamis (13/12), tercatat ada sebanyak 578 kasus Islamofobia di Jerman selama 2018.

Kementerian Dalam Negeri Jerman mengatakan, setidaknya ada 40 Muslim yang terluka dalam serangan yang sebagian besar dilakukan oleh ekstrimis kanan-jauh. Dilansir di Anadolu Agency, Jumat (14/12), kejahatan anti-Muslim yang dicatat oleh kepolisian Jerman tersebut mencakup kasus penghinaan, mengancam melalui surat, serangan fisik dan serangan terhadap masjid.

Partai Kiri oposisi, yang mengajukan pertanyaan parlemen, telah memperingatkan terhadap meningkatnya kampanye kebencian dan kekerasan terhadap umat Islam di negara itu. Sekitar 27 Muslim terluka dalam serangan antara Januari dan September tahun lalu.

Kasus Islamofobia dan kebencian terhadap para migran di Jerman telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan kebencian itu dipicu oleh propaganda dari partai-partai sayap kanan dan populis. Yang mana, mereka telah mengeksploitasi ketakutan atas krisis pengungsi dan terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement