Senin 11 Jun 2012 08:20 WIB

Makkah, Saksi Perjuangan Rasulullah

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Heri Ruslan
Ka'bah di Masjidil Haram Makkah, kiblat umat Islam.
Foto: www.kaheel7.com
Ka'bah di Masjidil Haram Makkah, kiblat umat Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Nabi Muhammad saw berselimut rapat dan tertidur pulas. Istri beliau, Khadijah, baru saja menenangkan beliau yang pulang dari Gua Hira dalam keadaan ketakutan.

Khadijah lalu keluar rumah dan menemui seorang sepupunya, Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nasrani yang saleh. Khadijah menceritakan peristiwa yang baru dialami suaminya.

Waraqah yang telah renta membesarkan hati Khadijah. Ia meyakini peristiwa itu adalah pengangkatan Muhammad sebagai rasul. Sementara itu, Muhammad yang tengah berselimut di rumahnya kembali menggigil.

Jibril kembali datang menyampaikan wahyu, “Wahai orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Agungkan Tuhanmu, sucikan pakaianmu, dan hindarkan darimu dosa. Janganlah kau memberi karena ingin menerima lebih banyak. Demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.”

Pengalaman itu kembali membuat Rasulullah saw gelisah, dan Khadijah terus menenteramkan beliau. Nabi saw sempat khawatir kalau-kalau yang menjumpainya bukanlah malaikat, melainkan setan. Dikisahkan bahwa saat Jibril datang, Nabi saw yang berada di pangkuan Khadijah melihat sosoknya. Sosok tersebut baru menghilang dari pandangan sang Rasul saat Khadijah menyingkap kain penutup muka beliau.

                                                                     ***

Peristiwa di atas adalah penggalan dari untaian panjang perjalanan Rasulullah di Kota Makkah Al-Mukarromah selama menyerukan Islam. Kota yang menjadi kiblat Muslim dunia itu menjadi salah satu saksi sirah nabawiyah sang Rasul.

Kesaksian itu telah dimulai sejak pasukan gajah Abrahah berupaya memporakporandakan Ka’bah di hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada 571 M, enam abad setelah masa Nabi Isa as.

Syeikh Tawfique Chowdhury dalam Mercy to the World (disampaikan dalam kursus perdana Al Kauthar Institute di Indonesia, 28-29 April) menjelaskan pengertian sirah sebagai studi mengenai kehidupan Rasulullah saw dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu sejak beliau lahir hingga wafat.

Ia dapat ditelusuri dari berbagai sumber, yakni Alquran, kitab-kitab hadis, buku-buku sejarah (umum atau yang secara spesifik mengulas Makkah dan Madinah), biografi para sahabat Rasul dan perawi hadis, dan lain sebagainya.

Alquran, kata Syeikh Tawfique, adalah sumber terpenting dari sirah nabawiyah. Sebagian kisah di dalamnya menjelaskan secara jelas aspek kehidupan sang Rasul saw, sementara sebagian lainnya hanya dapat dipahami dengan bantuan hadis. “Siapa ‘tiga orang (yang tidak ikut berperang)’ yang disebut dalam ayat 118 surah At-Taubah, misalnya, baru dapat dipahami setelah merujuk pada hadis. Ketiganya adalah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’,” jelasnya.

Namun demikian, tujuan membaca sirah tidak sebatas untuk mengetahui hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dialami Rasulullah dan para sahabat. “Penting bagi Muslim untuk menggali berbagai pelajaran dari apa yang dibacanya (sirah nabawiyah) itu,” ujar Syeikh Tawfique.

Pendiri Al Kauthar Institute itu menambahkan, kehidupan Rasulullah saw mengandung banyak pelajaran dan hikmah. Dengan angle berbeda, setiap satu kisah mengandung pelajaran yang berbeda. “Berbeda dengan biografi tokoh dunia lainnya, sirah Rasulullah saw memiliki banyak pelajaran baru untuk digali meski ia telah ditulis dalam ratusan judul buku.”

“Lensa (sudut pandang dan bidang keilmuan) yang berbeda akan menemukan pelajaran yang berbeda pula,” tandasnya. (bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement