Senin 20 May 2019 22:30 WIB

Ramadhan Momentum Minimalisir Penggunaan Sampah Plastik

Plastik memberikan dampak buruk bagi lingkungan mulai dari proses ekstraksi minyak

kegiatan Ramadan Ramah Lingkungan di Universitas Negeri Jakarta,
Foto: Dok Green Peace
kegiatan Ramadan Ramah Lingkungan di Universitas Negeri Jakarta,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak penggunaan plastik sekali pakai terhadap bumi ini akan semakin besar dan tidak terbendung, bila tingkat penggunaannya tidak ditekan sekarang juga. Pasalnya, tren pemakaian plastik sekali pakai cenderung terus meningkat. The World Economic Forum memprediksi, produksi dan konsumsi plastik akan meningkat 3,8 persen per tahun hingga 2030. 

“Sekali kita memproduksi dan menggunakan plastik sekali pakai, maka itu akan berada hingga ratusan tahun di alam ini,” tegas Muharram Atha Rasyadi, Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, dalam kegiatan Ramadan Ramah Lingkungan di Universitas Negeri Jakarta, dalam siaran persnya, Senin (20/5).

Berdasarkan laporan terbaru “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” seluruh siklus hidup plastik bisa menghasilkan gas rumah kaca yang begitu besar yang dapat mengancam target masyarakat dunia untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Plastik memberikan dampak buruk bagi lingkungan mulai dari proses ekstraksi minyak bumi sebagai bahan bakunya hingga keberadaannya di lingkungan sekitar sebagai sampah. Laporan tersebut menyebutkan, sampah plastik yang berada di pantai, sungai serta di berbagai tempat lain di darat melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang tinggi. 

Solusi utama tentunya masyarakat harus mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Bulan Ramadan ini bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk memulai aksi nyata dengan mengaplikasikan gaya hidup ramah lingkungan, mengingat penggunaan plastik sekali pakai sangat masif seperti untuk kemasan takjil.

“Nahdlatul Ulama sudah mengangkat sampah plastik sebagai permasalahan sangat penting yang mengancam lingkungan,” ujar Fitria Ariyani, Direktur Bank Sampah Nusantara LPBI Nahdlatul Ulama, di mana isu sampah plastik menjadi isu utama dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada Februari lalu di Banjar, Jawa Barat. 

Selain peningkatan kesadaran masyarakat, perusahaan seperti produsen barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods), juga harus bertanggung jawab. “NU mendorong pemerintah untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mengelola sampahnya,” lanjut Fitria.

Ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Perusahaan bisa menerapkan konsep isi ulang dan penggunaan kembali sebagai solusi demi mengatasi krisis sampah plastik.   

“Penyelesaian krisis sampah plastik bukan hanya berada di tangan masyarakat. Perusahaan justru memiliki porsi tanggung jawab terbesar untuk segera mengatasi masalah ini,” ujar Atha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement