Senin 20 May 2019 19:19 WIB

Ketika Muslim Bepergian

bepergian bagi seorang perempuan secara sendirian harus dipikirkan secara matang.

Ilustrasi Muslimah
Foto: EPA/Mast Irham
Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Seorang sahabat meminta pertimbangan kepada Rasulullah. Ia mengatakan istrinya berencana untuk menunaikan ibadah haji. Ia sendiri sebelumnya memutuskan untuk mengikuti sejumlah peperangan de ngan pasukan Islam. Jawaban segera meluncur dari mulut Rasulullah memupus kebimbangan sang sahabat. “Berangkatlah dan tunaikan haji bersama istrimu.” Sahabat itu mengikuti saran Rasul.

Menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali lewat karya dengan judul Mulai dari Rumah, bepergian bagi seorang perempuan secara sendirian harus dipikirkan secara matang. Perlu juga meneliti bagaimana proses perjalanan serta jalan yang dilalui selama perjalanan tersebut. Dalam pandang annya, ini sangat penting demi menjaga keselamat an perempuan dan merupakan bentuk kehati-hatian.

Ia menyatakan, keputusan sahabat yang membatalkan keikutsertaannya di dalam beberapa peperangan yang digambarkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim di atas, merupakan peristiwa yang pantas dicatat. Kaidah ushul fikih mengata kan, menghindari bahaya mesti didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.

Perjalanan seorang perempuan sendirian di atas untanya saat itu tentu sangat riskan. Ada kemung kinan terjadinya gangguan terhadap perempuan itu. Meski ia mengakui di masa kini keamanan relatif terwujud. Walaupun demikian, ada perbedaan pendapat apakah perempuan boleh bepergian sendirian tanpa ditemani suaminya.

Sebagian cendekiawan Muslim, ujar al-Ghazali, ada yang membolehkan perempuan berangkat haji atau bepergian ditemani oleh orang-orang yang dipercaya, sebab rombongan yang tepercaya dapat menghilangkan kekhawatiran. Mereka mendukung pendapatnya tersebut dengan hadis yang diriwayat kan oleh Adiy bin Hatim.

Adiy menuturkan, waktu dia bersama Rasulullah tiba-tiba seorang laki-laki datang dan mengadukan ancaman yang dialaminya. Tak lama berselang, muncul laki-laki lain yang melaporkan dirinya dirampok. Peristiwa ini terjadi sebelum umat Islam memiliki kekuatan dan keamanan belum sepenuhnya terwujud di Jazirah Arab.

Setelah menyelesaikan urusan dengan kedua orang tadi, Rasul menanyakan kepada Adiy apakah dia pernah melihat negeri Hiarah. Adiy menjawab, ia pernah mendengar namun belum pernah melihatnya. Lalu Rasul mengatakan, “Jika umurmu panjang, niscaya kamu akan melihat seorang perempuan datang dari Hiarah dengan menunggang unta sendirian untuk thawaf di Ka’bah.”

Muhammad SAW mengatakan, perempuan itu datang ke Tanah Suci sendiri tanpa takut kepada siapa pun kecuali Allah SWT. Haya binti Barok al-Barik me ngatakan, setiap perempuan yang telah bersuami wajib meminta izin saat akan melakukan perjalanan ke mana saja, termasuk ketika hendak menempuh perja lanan untuk menunaikan ibadah haji. Ini salah satu bentuk ketaatan terhadap suami.

Sebaliknya, disunahkan bagi suami untuk memberikan izin. Rasulullah mengatakan, tidak ada alasan bagi istri untuk pergi tanpa seizin suaminya. Sejumlah ahli fikih menetapkan ketentuan bagi perempuan yang akan pergi haji mestinya beserta suami atau mahramnya. Syarat tersebut, jelas Haya, bukan berlaku untuk perjalanan haji saja, melainkan berlaku juga pada seluruh perjalanan yang dilakukan seorang perempuan dengan jarak tempuh dan waktu tertentu.

Haya mengatakan, ada sejumlah akhlak yang patut dijalankan seorang perem puan waktu be pergian. Salah satunya adalah meminta izin dari suami nya, kalau perempuan itu telah bersuami. Perempuan itu juga dituntut untuk berpakaian yang sesuai dengan syariat, tak menampakkan auratnya kepada selain mahramnya dan tentu menjaga pandangannya. “Pelihara pula sifat malu selama perjalanan tersebut,” jelas Haya dalam buku nya, Ensiklopedi Wanita Mus limah. Ia menganjur kan, selama bepergian perempuan tidak ber dandan berlebihan serta menggunakan parfum yang baunya sangat tajam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement